9 | Way Out

85 14 0
                                    

Lega. Satu kata yang bisa menggambarkan perasaan Jihan saat ini. Begitu selesai, ia langsung keluar dari bilik toilet. Betapa terkejutnya ia mendapati Natha juga keluar dari pintu bilik sebelah. Tanpa mempedulikan Natha sedikitpun, Jihan langsung berpaling dan berjalan lurus ke arah wastafel. Diikuti dengan Natha di sebelahnya.

Natha melempar senyum ke arah Jihan melalui refleksi kaca. Begitu menyadari hal itu, Jihan menaikkan salah satu alisnya. Dihentikannya aliran keran air sejenak. Meskipun tangan belum sepenuhnya bersih.

"Ada masalah apa lo ama gue?" tanya Jihan langsung. Ia langsung menatap tajam mata Natha.

"Nggak ada kok." Natha menahan tawanya. "Gue tadinya cuma mau nyapa. Jadi ... hai!"

"Nggak jelas."

Jihan kembali membasuh tangannya yang masih bersabun. Sementara Natha sudah selesai mencuci tangan dan mengeringkan dengan tisu. Merasakan sosok Natha yang tak kunjung pergi membuat Jihan kesal.

"Gue denger, lo debat sama Zee kemaren."

"Nggak perlu ikut campur, Nath. Bukan urusan lo."

"Tapi, kalian itu temen gue dan gue nggak mau kita pecah begini," sanggah Natha. "Sekarang gue tanya balik, kenapa lo sendiri bawa-bawa emosi lo pas mutusin director? Itu berarti lo masih kepikiran yang dulu, kan."

Spontan, Jihan mendelik.

"Berarti bener, ya." Natha menyisir anak rambutnya ke belakang. Terdengar desahan panjang dari mulutnya. "Apa lo nggak bisa berdamai dengan masa lalu, Han? Sampai kapan lo benci Zee? Dia nggak salah. Dia juga ngerasain sakit. Kita semua bahkan masih ngerasain sakit."

Gemuruh bertabuh dalam dada Jihan. Tekanan darah berkumpul di ubun-ubunnya. Bibirnya sempat membuka, namun suaranya seolah tertahan. Ia sibuk memikirkan jawaban yang tepat untuk membalikkan pernyataan itu.

"Tau apa lo soal yang gue rasain?"

"Gue tahu, sebenernya lo tuh nggak benci. Lo sebenernya punya penyesalan paling besar, tapi ... lo deny fakta itu. Makanya lo tumpahin semua ke Zee." Natha meninggalkan Jihan yang masih mematung di posisi yang sama. Kini punggungnya tersandar di ambang pintu. "Sekali ini aja ... jangan bawa-bawa yang dulu! Coba, lo baca lagi naskah itu dan nanti, lo akan paham maksud gue ...."

***

"Gue mikir, ini script-nya udah bagus."

"Setuju, sih. Dari segi pembawaan cerita, adegannya itu menyentuh hati. Pas baca skrip ini, gue udah kebayang feel dan pesannya."

Jihan menguping pembicaraan anggota teater. Beberapa orang berkumpul, duduk membentuk lingkaran. Mereka sama sekali tak menyadari kehadiran Jihan yang berdiri di depan kelas. Ada yang sibuk mengobrol, ada yang asik memainkan ponsel. Padahal rapat internal akan diadakan beberapa saat lagi. Mereka masih saja sibuk mengobrol sendiri.

"Nah, iya, kan! Tinggal kita eksekusi sebaik mungkin. Casting-nya juga harus cocok perawakannya, supaya nonjolin pesannya."

"Jujur, guys, gue salut sama kak Zeva. Walau idenya sederhana, tapi maknanya bagus," ucap seorang gadis berambut bob. Ia menopang dagu dengan tangan kirinya. "Heran deh gue kenapa kak Jihan nentang banget, sih? Mana suka musuhan gitu."

"Lha, dek, lo pada nggak tahu soal mereka berdua?" sahut seorang lainnya, teman sekelas Jihan. "Gue dulu se-SMP sama mereka, awalnya mereka segeng gitu. Tapi-"

What If [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang