6 | Challenge

91 16 3
                                    

"Ezra, lo kan ganteng," puji Kak Clarence. Kedua tangannya mengatup di depan wajah. Matanya membulat sempurna, memelas.

"Hmm, emang gue ganteng."

"Lo kan baek dan berbudi luhur."

"Jelas."

"Lo kan anaknya berkarisma, rajin menabung, dan tabah. Duh, lo emang idaman. COCOK!"

"Cocok apa nih? Kakak mau jadi pacar aku? Aduh gimana ya ... kalo aku sih yes."

Kak Clarence menggebuk pelan tengkuk Ezra dengan gulungan kertas."Heh, bacot! Gue udah punya Sehun, maap maap nih," Ia berkacak pinggang. "Jadi gini, lo tau kan kalo cowok di teater cuma sebiji doang. Nah, coba lo ikut casting dah! Kalo lolos, gue jamin lo dapet bagian deh. Lo lagi butuh duit, yekan?"

Yah, butuh sih butuh. Tapi masa iya casting. Bakal jadi apa gue? Duta sekolah di video promosi? Duta sampo alami buatan anak KIR? Ih ... entar rambut mempesona gue ternodai senyawa aneh, embung!

Ezra menghela napas panjang. Benar-benar kakak kelasnya yang satu itu sungguh merepotkan. Kalau bukan karena "sogokan" yang menggiurkan itu, ia tak mungkin masih ada di sini. Berlama-lama di sekolah itu memuakkan. Sudah lelah belajar seharian, harus bersarang pula di sini. Lebih baik nongkrong bareng anak-anak yang lain.

Yodahlah, gak papa demi duit. Inget, Zra! Demi apa? DEMI DUIT! Batin Ezra. Seketika ia menyeringai sembari mengangkat dagunya. Bayangkan saja bebannya hilang saat semua uang itu terkumpul. Selesai sudah cobaan hidupnya.

Beberapa menit lagi pertemuan itu diadakan. Ezra berjalan dengan wajah berseri. Begitu berbelok ke koridor kelas IPS, ia menemukan seseorang di depan kelas itu.

"Lho, kok lo ada di sini?"

Zeva. Si cewek yang selalu mengepangi rambutnya. Berwajah datar dengan tatapan sayu. Entah sejak kapan Ezra bisa menemukan sosoknya dimana-mana sekarang.

Cewek itu menengok kearahnya. "Lo sendiri ngapain?"

"Gue ada urusan lah. Tapi keknya masih sepi ya?"

Tak ada respon lagi. Zeva menatapnya dari ujung kaki hingga kepala. Seolah-olah dirinya seseorang yang patut dicurigai.

Ezra kadang tak mengerti dengannya. Setidaknya ada dua hal yang membuatnya heran. Pertama, dia irit bicara. Beberapa kali ia mengobrol Zeva di kelas. Bukannya ditanggapin panjang lebar, yang ada cuma satu atau dua kalimat saja. Kedua, dia minim ekspresi. Ia masih ingat saat itu Zeva tak menangis atau mencak-mencak sewaktu kameranya rusak. Ya, mukanya shock. Tapi dia seolah beku di tempat kayak patung. Serem juga. Kadang ia mempertanyakan apa Zeva itu manusia betulan atau bukan?

Kasian sih dia. Kalo di kelas sendirian mulu, paling ngobrol ama sesama cewek doang. Coba kalo gue jadi temennya, kek apa ya entar? pikir Ezra. Jangan-jangan punya sisi ambruk kek ciwi-ciwi pada umumnya! Anjir, nggak kebayang.

Beberapa detik kemudian Ezra teringat lagi perihal maksudnya ke sini. Bisa-bisanya dia melupakan pertemuan itu. Apa sebaiknya ia menanyakan soal itu ke Zeva? Barangkali anak itu tahu masalah casting dan entah apapun itu.

Namun sebelum mulutnya berkata sepatah kata, suara lembut itu memanggilnya, "Kak Ezra!"

Sontak Ezra menoleh ke arah suara. Terkejut. Jantungnya berdenyut cepat begitu menyadari sepasang tangan menggenggam tangannya. Ezra menatap si cewek berwajah manis itu.

Tatapannya berbinar cerah. Sederet gigi putih tersingkap begitu gadis itu tersenyum. "Udah lama ya, kak. Masih inget aku?"

"Ayudia?"

What If [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang