Tuh kan, ini anak nggak bisa diharapkan.
Zeva menghembuskan napas berat begitu mengecek aplikasi Whatsapp miliknya. Tak ada satu pun pesan dari si cowok rese, Ezra. Bahkan sampai selarut ini. Sekarang benaknya dipenuhi tanda tanya. Keraguan mulai mengakar dalam benaknya. Apakah orang itu benar-benar bisa bertanggungjawab?
Bel pulang sudah berrdering sejak tiga menit yang lalu. Tepat sebelum Zeva keluar dari kelas, dirinya dicegat oleh Ezra. Cowok itu tahu-tahu berdiri di depannya. Ia menenteng tasnya dan membebankan ke pundak kiri.
"Tunggu, gue mau ngomong!" katanya. "Gimana kalo bahas tadi di WA aja? Nanti gue chat lo duluan, ok?"
Zeva menggangguk. "Ok."
"Kalo gitu tunggu aja, ya! Secepetnya gue kabarin. Nanti lo juga harus ngejelasin gue harus ganti rugi berapa. See you then!"
Sejenak Zeva membaringkan dirinya ke atas kasur dengan posisi tangan terbuka lebar. Ponsel putihnya itu dihempaskan ke sisi lain. Ia mengarahkan pandangannya ke langit-langit kamar dan mengamati beberapa sticker bintang yang tertempel di sana. Sementara pikirannya semakin lama terbang ke tempat lain.
Kalo kakak tau, bisa ngamuk.
Zeva memejamkan matanya sejenak, membayangkan ekspresi Kak Noah. Beberapa tahun yang lalu, kamera itu ia beli dengan menggabungkan uang tabungannya dengan uang dari Noah. Benar-benar kamera pertama dan kesayangannya. Jadi, bisa ditebak bagaimana reaksi orang itu kalau sampai tahu nasib kameranya. Bahaya besar! Untungnya Kak Noah sekarang tinggal di kota lain karena kuliah. Tapi pasti dia akan pulang saat liburan semester nanti. Pokoknya hal ini harus Zeva rahasiakan dulu darinya dan orang-orang rumah.
Drreeet! Dreeet!
Ponsel miliknya bergetar. Seketika Zeva langsung berada dalam posisi duduk tegak. Begitu ia meraih ponsel itu, ia melihat layarnya menunjukkan panggilan masuk dari Natha, sahabatnya.
Lantas ia menekan tombol menjawab telepon. "Halo, Nath! Ada ap-"
"Heh, Zee! Gue nggak lihat lo pas selesai tadi. Emang bener katanya kamera lo dirusakin orang? Siapa yang ngerusak?" tanya Natha bertubi-tubi.
Zeva langsung terkesiap menerima semua pertanyaan itu. Ia hening sesaat untuk mempersiapkan kata. Untuk beberapa menit, ia menceritakan semua yang terjadi pagi ini.
"Buset dah, itu beneran nggak bisa di-service aja?"
Matanya melirik ke atas meja belajar, di sana terletak tas khusus berisi kamera. Zeva pun berpindah posisi dari kasur ke kursi depan meja itu. Punggungnya tersandar dengan nyaman ke sandaran kursi.
"Lensanya pecah, badannya lecet, terus ... screen-nya nggak bisa dinyalain. Kalo bisa pun mungkin harga service-nya sama dengan yang baru. Hmm, nggak tau lagi deh!"
"Itu ... parah banget astaga. Kalo gue ada di sana pas itu, dah gue gaplok palanya, ugh!" komentar Natha. Dari telepon, Zeva bisa mendengar dengusan kesal jauh di sana. "Sabar ya, Zee!"
Entah mengapa seketika kekesalan Zeva menurun. Ia sedikit lega setelah bercerita pada Natha "Iya. Ngomong-ngomong ... makasih udah dengerin cerita gue."
"Anytime, beb."
Jam dinding menunjukkan pukul 22.25, Zeva baru saja teringat sesuatu. Ia langsung buru-buru membuka laptop di hadapannya. Telepon masih tersambung dengan Natha. Hanya saja ponselnya digeletakkan di samping, dalam mode speaker menyala.
"Eh, gue baru kepikiran. Memorinya selamat nggak?"
"Seharusnya iya ... tapi tenang, kalo foto lama udah pasti gue backup ke drive. Nanti gue nyoba backup yang foto terbaru, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
What If [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction🙌 Naskah terbaik Tantangan Menulis Rasi Publisher dalam tema kehidupan sekolah ✨ "Pernah nggak sih lo kepikiran, gimana kalau ada sesuatu yang dirahasiain dari kita bertahun-tahun?" *** Setelah Kiran pergi, Zeva memandang hidupnya sebagai roll film...