8 | Scenario

83 15 3
                                    

"Wah, Ezra? Udah lama kamu nggak ke sini, ya?"

Ezra terkekeh mendengar ucapan itu dari bibir Rena. Ia menyalami tangan ibu dari Addis. Sudah berapa lama ia tidak main berkunjung ke rumah Addis, mungkin sudah setahun lebih. Semenjak masuk SMA, waktunya untuk bermain sedikit berkurang, terisi oleh band dan beberapa hal lainnya. Kalau bukan karena ajakan sahabatnya itu hari ini, mungkin ia tidak pernah berpikiran main ke sini lagi.

"Kamu jadi tinggi banget, ya? Makin cakep." Rena menepuk bahunya. "Tante sampe pangling, lho. Coba aja anak tante kayak kamu!"

Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. "Ah, bisa aja, Bun. Makasih."

Dibalik punggung Ezra, Addis memasang senyum kecut. Dilepaskannya helm beserta sepasang sepatunya. "Kebiasaan si Bunda. Anak sendiri dibanding-bandingin. Tega kali," cibirnya. "Ya, udah, ah! Yok ke kamar gue!"

Addis masuk ke dalam terlebih dahulu. Ezra pun mengangguk pelan sesaat pada Rena. Langkahnya menyusul jalannya Addis kemudian. Menaik anak tangga di rumah itu.

"Oh, iya, Dis, adekmu mana?" tanya Rena semi berseru.

Tanpa menghentikan langkahnya, Addis menjawab dari atas, "kerja kelompok ceunah! Bentar doang, nanti pulang sendiri."

Sesampainya di kamar Addis, Ezra duduk di pinggiran tempat tidur. Ia menaruh tasnya di lantai, sama seperti Addis. Matanya mengitari setiap sudut kamar itu. Tak terlalu berubah, sesuai ingatannya dulu.

Addis segera berganti atasan kemeja menjadi kaos biru. Tanpa mengganti celana abu-abunya. Lalu, menghempaskan tubuhnya pada kursi. Segera ia mengambil ponselnya dari saku. Mereka berdua memainkan game online selepas itu. Setidaknya sampai tiga match selesai.

"Ah, lose streak mulu!" seru Addis frustrasi. Kakinya menendang kaki meja, membuat roda kursinya bergulir ke belakang. "Lagi nggak?"

"Bentaran dulu, istirahat," jawab Ezra. Matanya masih fokus mengatur senjata dan skin yang akan digunakan. "Ngomong-ngomong. Band kita jadi ikut pensi sekolah?"

"Gue nggak tahu, dah. Katanya, sih, jadi. Tapi mending lo tanya ke Cahya soal pastinya. Emang napa?"

Ezra memalingkan pandangannya sejenak dari layar ponsel. "Gue butuh duit," jawabnya to the point.

"Hah? Lo dari kemaren kek ngomongin duit mulu. Ada apa sih? Ngumpulin modal pacaran?"

"Nggak gitu, njir!"

"Ya, terus kenapa?" Addis memasang wajah curiga. "Oh, gantiin alat lab?"

Ezra mengurut batang hidungnya, mengernyit. "Lebih parah dari itu ...."

Ezra menghempaskan punggung ke atas kasur. Alisnya saling bertabrakan. Kepalanya sedikit pusing. Masalahnya ia belum memikirkan jalan lain untuk mendapatkan uang selain honor band. Saat ini ia hanya memiliki sebagian kecil dari total nominal yang harus ia kumpulkan. Tabungannya sejak lama.

"Gue ada hutang sebenernya. Kalo sampai emak tahu soal ini, bisa-bisa gue didepak dari rumah," ceritanya. "Emang lo mau nampung gue disini?"

Addis melempar bantal leher dari atas meja, ke arah Ezra. Namun, berhasil ditangkap. "Etdah, nggak sudi gue punya sodara lagi! Satu aja cukup," katanya. Ia memegangi dagunya, seperti berpikir. "Lagian, gue ada ide lain."

"Apa itu?"

"Ngepet aja! Gue yang jaga, lu yang jalan."

Ezra balik melempar bantal tadi. Menutupi ekspresi Addis yang mengesalkan. "Yee!"

What If [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang