Padahal beberapa jam lagi bel pulang sekolah akan berbunyi, namun sepertinya Jihan sudah tidak kuat lagi. Kepalanya terasa berat sekali. Suhu badannya juga panas. Karena itu ia memilih izin ke UKS. Setidaknya itu akan meringankan sakitnya.
"Yaudah kalo gitu, gue panggil lo .... Sayang?"
"A-apa sih?"
Langkah Jihan terhenti di ambang pintu yang tertutup. Ia mengerutkan dahi begitu mendengar percakapan menggelikan itu. Bisa-bisanya ada yang pacaran di dalam sana. Bakal aneh kalau dia masuk sekarang. Lebih baik mengintip dulu lewat jendela.
Begitu mengintip, Jihan tercengang melihat pemandangan itu. Hal yang paling tidak bisa ia percaya ialah melihat Zeva dengan seorang cowok di sana. Ya, Zeva. Jihan tahu betul anak itu menghindari percakapan dengan laki-laki jika tidak perlu sejak hari itu. Apalagi kalau hanya berdua. Sangat tidak mungkin.
"Ngapain sih mereka,"gumamnya amat pelan. "Ternyata bener dia punya sifat fake, di depan aja sok polos. Tapi kalo di belakang deketin cowok. Pantes dulu begitu."
Sepertinya kedua orang itu mau keluar dari UKS. Spontan Jihan menyembunyikan diri di balik lemari pajangan. Yang pertama keluar itu Zeva. Mata Jihan mengekori jalannya gadis itu. Tingkahnya terlihat aneh. Beberapa lama kemudian, cowok tadi menyusul Zeva. Tahu-tahu mereka berjalan bersebelahan.
Ingatan Jihan berputar pada hari kemarin. Mengingat isi dari sinopsis naskah film mliik Zeva, mengangkat isu beauty privileges. Entah dia sengaja atau tidak, tapi hal itu mirip seperti masa lalu. Masa-masa yang begitu pahit untuk kembarannya, ditambah dengan Zeva di dalamnya.
Ia tidak akan pernah lupa kejadian-kejadian itu. Cowok-cowok brengsek! Sekumpulan pesan sampah, coretan penuh hinaan, dan candaan lewat batas. Semua itu disimpan Kiran rapat-rapat darinya dan Zeva malah seolah tak tahu menahu soal itu. Padahal cewek itu selalu berada di dekat Kiran, menempel kemana saja.
Tidak mungkin kan kalau sampai Zeva tidak tahu dan membiarkan bullying itu? Yakin tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Apapun alasannya, itu keterlaluan.
"Kita lihat saja nanti, Zee ...."
Jihan meremas botol air mineral kosong yang ia pegang. Dilemparkannya benda itu dengan kasar ke dalam tempat sampah. Lalu, masuk ke dalam ruang UKS.
***
Langit berawan menciptakan efek warna pencampuran jingga dan ungu. Jauh di sana matahari bersembunyi di balik tingginya gedung dan perumahan. Zeva menyaksikan itu semua dari balik kaca. Dalam kereta ia hanya terdiam, duduk sembari memeluk tas. Bahkan tak ada Natha yang biasanya menjadi teman pulang-perginya.
Kereta berhenti untuk beberapa menit. Beberapa penumpang baru masuk dan memosisikan diri dalam gerbong. Namun ia masih belum terusik. Zeva memilih memainkan ponselnya. Tak terlihat peduli sedikit pun.
Dua orang laki-laki berseragam putih abu-abu berdiri di seberang Zeva. Keduanya memilih berpegangan pada hand strap. Mereka mengobrol asik sekali dengan mata tetap tertuju ke layar ponsel. Entah apa yang mereka tonton di sana.
"No debat! Mereka cakep-cakep semua di MV ini," komentar si cowok jaket denim. Suaranya lumayan keras sampai-sampai Zeva bisa mendengar mereka.
"Ya, iyalah, gimana nggak? Langsing, putih, bening, cantik. Kalo nggak begitu mana mungkin dipungut buat debut," balas temannya. Ia terus memegangi ponsel yang mereka tonton. "Duh, liat dah dance-nya. Gue suka dia."
"Yang main dancer?"
"Iya."
Cantik, music video, dan dance. Begitu mendengar itu pikiran Zeva langsung tertuju pada girl group K-pop. Tidak ada yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
What If [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction🙌 Naskah terbaik Tantangan Menulis Rasi Publisher dalam tema kehidupan sekolah ✨ "Pernah nggak sih lo kepikiran, gimana kalau ada sesuatu yang dirahasiain dari kita bertahun-tahun?" *** Setelah Kiran pergi, Zeva memandang hidupnya sebagai roll film...