"Jadi ... fix, ok? Kalau begitu, kita berarti udahan dulu. Makasih semua."
Begitu Zeva berbicara demikian, semua anggota sinematografi mengangguk. Jadwal sudah disiapkan, anggaran ada, dan storyboard setengah jadi. Setidaknya proses sudah berjalan sedikit demi sedikit. Itu berarti pertemuan klub untuk membahas tahap pra produksi untuk hari ini selesai. Selanjutnya, mungkin mereka akan menyelesaikan hal-hal yang masih dalam proses.
Semuanya langsung berbenah tas dan barang-barang mereka. Satu persatu dari mereka keluar dari ruang kelas. Zeva pun mengembuskan napas panjang, lalu tersenyum. Ia sendiri mulai merapikan segala alat tulis dan kertas yang ada dihadapannya. Kertas-kertas itu disimpannya baik-baik dalam map plastik. Tidak ada selembar pun yang boleh hilang. Setelah itu, ia berpamitan dengan beberapa orang dan pergi keluar sendirian.
Jam tangan yang melingkar di tangannya menunjukkan pukul 16.05 saat ini. Zeva ingat masih ada jadwal casting klub teater di jam-jam ini. Ada baiknya sebelum pulang ia mengecek sebentar ke sana. Lagipula ia penasaran bagaimana perkembangan casting untuk filmnya nanti.
Tanpa berpikir apa-apa lagi, Zeva berpindah ke tempat klub teater berada. Biasanya mereka melakukan aktivitas klub di kelas lantai bawah. Sesampainya di tempat itu, Zeva tak segera masuk. Ia mulai berpikir apa yang ia katakan nanti. Meskipun ia dinobatkan sebagai director sejak dua minggu yang lalu, ia masih ragu. Apa ia harus masuk sekarang? Secara tiba-tiba?
"Kenapa sih selalu begini?!"
Dari luar kelas terdengar suara monolog, sudah pasti mereka sedang berakting. Zeva mengintip sedikit dari jendela. Dilihatnya seorang gadis tengah mendalami perannya, ditonton oleh anggota yang lain.
"Ngapain lo ngintip dari situ?"
Zeva langsung tersentak. Ia berbalik badan dan mendapati Jihan berdiri di sana. Gadis itu menatapnya dengan pandangan malas. Terkadang Zeva bingung, mengapa orang ini selalu saja muncul secara tiba-tiba? Ditambah lagi dengan pandangan seperti itu, apa sebenarnya Jihan itu masih sebal dengannya?
"Gue kira siapa," kata Zeva setengah berbisik. "Gue cuma liat casting. Lo sendiri kenapa ada di luar?"
"Ya, suka-suka gue, dong!" Jihan melipat kedua tangannya. "Dari tadi kita tuh nungguin lo buat mulai casting. Mana ada casting sama co-director doang. Ayo masuk buruan!"
Co-director yang dimaksud Jihan tidak lain itu Kak Clarence. Pantas saja Kak Clarence tak menunjukkan batang hidungnya tadi, rupanya di sini. Sejenak Zeva meringis. Sementara Jihan membuka pintu kelas, masuk terlebih dahulu. Zeva menyusul gadis itu. Saat ia melangkahkan kaki ke tempat itu, seluruh pasang mata terpaku padanya. Atmosfer ruangan langsung berbeda seketika.
Zeva menundukkan kepalanya sedikit. Di deret paling depan bagian tengah, ada tiga meja di sana. Dua telah terisi oleh Kak Clarence dan Kak Tama. Segera saja ia duduk di kursi kosong yang terakhir.
"Guys, director-nya dah dateng tuh!" seru Jihan. Ia sibuk menghitung jari kemudian, berpikir sendiri. "Berarti dah lengkap. kan? Director, co-director, terus ... produser. Kita mulai sekarang mau?"
"Hah, tunggu gue belom siap!" jawab seorang cowok berjaket abu-abu. Ia duduk di barisan belakang, berkumpul bersama lima cowok lainnya.
Padahal kemarin hanya ada dua orang laki-laki dalam teater. Wajah-wajah familiar itu, sepertinya satu angkatan. Zeva menduga beberapa dari mereka baru masuk karena ditarik paksa oleh Kak Clarence. Seperti Ezra, contohnya.
"Yang cowok nanti aja, sekarang utamain cast utama cewek," balas Kak Tama, si produser film ini. Ia terlihat membetulkan kacamatanya sembari membaca barisan kata dalam skrip. "Yuk, mulai! Keburu malem, sekolah ditutup."
KAMU SEDANG MEMBACA
What If [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction🙌 Naskah terbaik Tantangan Menulis Rasi Publisher dalam tema kehidupan sekolah ✨ "Pernah nggak sih lo kepikiran, gimana kalau ada sesuatu yang dirahasiain dari kita bertahun-tahun?" *** Setelah Kiran pergi, Zeva memandang hidupnya sebagai roll film...