5 | Obstacles

90 17 1
                                    

"Kita? Dipimpin dia?!" seru Jihan dengan nada tinggi. Salah satu alisnya terangkat. Manik matanya memandang Zeva di seberang meja sana dengan pandangan skeptis. "Siapa sih yang milih dia?"

Kulit Zeva mendadak terasa dingin. Ia menengguk salivanya dengan kasar. Kini dirinya menjadi pusat perhatian semua anak. Tak bisa berkata apa-apa lagi, ia merasa terindimidasi oleh belasan orang di ruangan ini.

"Gue. Emangnya kenapa, Han?" Kak Clarence angkat suara. Sedari tadi ia hanya senyam-senyum sendiri di kursi sebelah Zeva. Menanggapi semuanya dengan ringan. "Gue merasa Zee punya potensi kok buat jadi director. Sebagian besar anak sinema agree juga."

Pernyataan itu disambut dengan anggukkan beberapa orang. Rahang Jihan mengeras. Dari ekspresi wajahnya bisa dilihat ia sedikit malu dan segan pada Kak Clarence. Namun sepertinya egonya masih tinggi.

"Alasannya?"

Kak Clarence menarik napas panjang dan menghembuskannya. Tidak sedetikpun senyumnya luntur. Ia menyerahkan beberapa lembar kertas yang sudah disatukan dengan staples. Jihan meraih kertas itu tanpa basa-basi dan membacanya dengan tenang.

Sementara Zeva memilih tak angkat suara. Jemarinya saling beradu, bergerak sembarangan di bawah meja. Pandangannya menyusuri setiap wajah dari kanan ke kiri. Namun terhenti sejenak tatkala tatapannya bertemu dengan tatapan seseorang.

Zeva sedikit terkesiap. Cowok itu tersenyum hangat, matanya sedikit menyipit. Seolah memberi sedikit semangat.

Beberapa detik kemudian, Zeva mengerjapkan matanya. Cepat-cepat ia mengalihkan tatapannya ke arah lain. Perlahan ia memikirkan kembali bagaimana situasi ini bisa terjadi, sebelum pertemuan klub dimulai.

***

Beberapa jam yang lalu.

Tidak ada sudut lain sekolah yang lebih ramai dibandingkan kantin. Lihat saja! Sekarang pukul 12.05 dan orang-orang langsung bermigrasi dari kelas ke tempat ini. Berdesakan sudah biasa, tapi kalau geng-geng cowok semua menghebohkan kantin pastinya ramai bukan main.

Sekiranya begitu sekarang. Zeva memandangi cowok-cowok tersebut duduk di meja paling tengah. Ada yang membawa gitar juga, ada yang bernyanyi dengan botol Aqua sebagai mic. Jadi serasa live music dadakan. Ruwet juga melihatnya.

"Lo nggak makan, huh?" tanya Natha. Sedetik kemudian ia menyendokkan potongan bakso ke mulutnya.

"Eh? Iya ...."

Lamunan Zeva buyar. Pandangannya kembali terarah pada roti nanas yang masih tersegel. Dengan segera ia membuka bungkusnya. Sambil memakannya, Zeva kembali membaca teks di ponselnya. Tatapannya begitu serius. Sampai-sampai Natha sendiri heran melihatnya.

"Serius amat. Emang ntar ada ulangan?"

"Nggak kok."

"Terus?"

"Gue lagi baca naskah. Lo mau lihat?" Pandangan Zeva beralih ke Natha. Ia menunjukkan isi layar ponselnya untuk beberapa menit.

Natha memicingkan matanya. Ia menerima ponsel Zeva untuk membacanya lebih lanjut. Beberapa kali jemarinya menggulir layar untuk melihat halaman selanjutnya.

"Ini cerita apa? Buat YSMC?"

Zeva menganggukkan kepala, sementara mulutnya sibuk mengunyah.

"Gue nggak nyangka. Ini bagus, Zee!" komentar Natha. Ia mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya. "Baru konsep, ya?"

"Ya, baru sinopsis. Ini tugas buat sinematografi," jawab Zeva. Ia menatap barisan kata tersebut sambil tersenyum tipis. "Pas gue nulis ini, gue keinget Kiran, Nath."

What If [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang