4 | Our Agreement

100 17 0
                                    

Aroma menenangkan menyeruak bebas di udara. Bunyi mesin kopi dan suara beberapa orang bersahutan. Mereka berlalu lalang di dalam sini. Menyesap minuman, menikmati musik, bercanda tawa. Ruangan tersebut mungkin kecil namun dapat menampung segala keriuhan malam.

Tepat di satu pojok café, Ezra berdiri sambil memainkan gitar bass. Berkaus putih dengan outer denim, celana jeans abu, dan sepatu kets. Kali ini ia tidak benar-benar sendiri, ada beberapa teman yang menemaninya di atas panggung kecil-kecilan itu. Seorang penyanyi, satu gitaris accoustic, satu pianis, dan satu drumer. Mereka berlima membawakan beberapa lagu pop sesuai request pengunjung.

Sekitar satu jam mereka telah memberikan performance. Menjelang penutupan lagu, Ezra memberikan sedikit improvisasi. Lagu terakhir pun diselesaikan dengan baik. Ditambah tepukan tangan dan siulan dari beberapa pendengar.

"Bravo, Bandjol! Bravo!" seru pemilik café, turut bertepuk tangan dari balik counter.

"Ya! Sekian dari performance kami malam ini. Terima kasih udah nonton semuanya!" kata Baim, sang vokalis utama. Ia mengedipkan mata ke arah tiga gadis di meja depan panggung. "Buat mbak-mbak di depan saya ini, semoga mbak sekalian kisah cintanya semanis lagunya tadi, ya!"

Seketika ketiga orang itu mengaminkan kalimat tadi. Mereka tertawa kecil dengan malu-malu kemudian.

Kelima cowok itu langsung membereskan alat musik masing-masing, kecuali drum dan keyboard. Dengan segera mereka turun dan memilih berkumpul di lantai kedua. Duduk mengobrol sambil menunggu bayaran malam ini.

"Tuman lo, Im! Tebar pesona mulu," desis Addis, si drummer.

"Yeeee, barang kali ada yang kecantol, terus gue jadi member pertama yang lepas status. Then, I'll be the winner here!"

"Nggak setia pada pedoman. Depak, depak!"

Baim menjulurkan lidahnya, bermaksud mengejek. Kemudian ia tergelak sendiri. Addis memandangnya dengan jijik, sementara sisanya tetap diam. Sibuk dengan ponselnya masing-masing. Termasuk Ezra di dalamnya.

Sesaat Ezra menarik napas panjang. "Ini beneran selesai sekarang?"

"Ya, gimana lagi? Kita udah masuk sekolah lagi, bro. Jadi nggak bisa dua kali seminggu lagi. Kontrak bulan ini juga abis," jawab Devan, si gitaris. Matanya tetap terkunci pada ponselnya, tak melirik sedikitpun.

Tertampar akan realita itu, membuat Ezra pusing setengah mati. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Pikirannya mulai melayang, mencari cara lain untuk membayar "pengeluaran tak terduga" itu.

Cahya, sang pianis, mengamati perilaku itu dengan heran. "Muka lo kisut banget. Biasanya hiperaktif lo."

"Sssshh! Gue lagi mikir!"

"Alah, sok!" cibir Addis. "Biar gue tebak, lo pasti nganeh-aneh lagi kan hari ini!"

Ezra cengengesan mendengar itu. Tanpa sadar keempat temannya berdecak. Mereka tak heran lagi apabila secara tiba-tiba seorang tanpa perencanaan bisa berpikir sedalam itu. Jika ada suatu hal yang kacau itu pasti ulah Ezra. Tidak salah lagi.

"Udah, gue malu diliatin mulu. Gue merasa tersanjung jadinya," ujar Ezra tanpa rasa bersalah. Kalimat itu membuat mereka bergidik geli. "Mending lo semua bantuin gue dah! Dapet pahala nolong temen."

Baim menoyor pelan kepala Ezra. "Sembarangan! Pahala kami udah banyak kali."

"Canda, gue bercanda!"

What If [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang