Tiga tahun kemudian.
"Nametag, nametag, nametag! Atributnya dipasang, dek!"
"Sebentar lagi mulai kalian masih ribut aja. Mana lagi belom lengkap barisannya. Ayo displin! Kalian itu sudah dua hari jadi anak SMA Pratama Wijaya bukan anak SMP lagi!"
Kata demi kata terus disorakan oleh belasan anggota OSIS di depan sana. Lucu sekali, dalam hall yang berisi ratusan siswa, tak ada satu pun yang berani angkat suara. Keheningan hanya bisa dipecah oleh pekikan sekelompok orang berjas biru. Masa pengenalan lingkungan sekolah ini seolah seperti neraka bagi anak-anak baru. Wajah mereka tegang dan datar. Diam, memperhatikan, dan berdiri dalam sikap sempurna.
Dari pintu hall Zeva mengamati semua itu. Ia bersandar pada tembok. Kamera DSLR tergantung manis di lehernya. Kedua tangannya tersembunyi dalam saku jas birunya. Siapapun yang melihatnya setidaknya bisa berasumsi kalau ia merupakan bagian dokumentasi.
"Lo udah tahu soal itu kan?" tanya Kak Clarence tiba-tiba. Gadis yang merupakan seniornya itu turut bersandar di sampingnya. Sama-sama membawa kamera.
Zeva mengerutkan keningnya. "Soal ... apa, kak?"
"YSMC, Zev. Gimana keputusannya, lo jadi ikut kan?"
Sejenak pandangan Zeva mengawang-awang. YSMC atau Youth Short Movie Competition, sebuah ajang kompetisi film pendek bergengsi tingkat nasional. Tak pernah sekalipun klub sinematografi mangkir dari kompetisi itu. Ia ingat pembuatannya turut melibatkan klub teater sekolah. Tentang ikut atau tidaknya, tentunya saja jawabannya sudah jelas. Ini kesempatan besar yang sudah ia nantikan sejak dulu.
"Aku ikut!" jawabnya dengan mantap. "Kakak sendiri?"
Seketika wajah Kak Clarence berseri. "Syukurlah lo ikut, Zev. Sejujurnya gue juga pengen ikut lagi tapi kan ..." keluh kakak kelasnya itu. "Ok lupakan itu! Meskipun gue bentar lagi pensiun, gue tetep bimbing angkatan lo sebagai ketua klub yang baik. Lagian abang lo tuh dah nitip ke gue, potensi lu sebagai juga bagus. Gue yakin banget lo bisa jadi sutradara."
Zeva tersenyum kikuk. Lagi-lagi tentang kakak laki-lakinya, Kak Noah. Semua orang tahu rekam jejak Noah yang luar biasa di sekolah ini dua tahun yang lalu. Ia memang berbakat dalam videografi sedari kecil. Tentu saja kemampuan mengarahkan dan kepimpinan sosok itu jauh lebih baik darinya. Makanya sampai sekarang Zeva masih ragu mengambil posisi besar itu. Tahun lalu ia hanya mengambil posisi pembantu kameramen, mungkin selanjutnya juga sama.
Walaupun begitu, dalam lubuk hatinya ia ingin memiliki peran yang lebih besar lagi. Ia memiliki satu tekad yang tersembunyi untuk dirinya sendiri. Sebuah mimpi sekaligus janji yang pernah terucap dulu sekali. Zeva berharap mimpi itu terwujud dengan usahanya sendiri, terlepas dari bayang-bayang Noah.
"Kak, aku nggak pede kalo aku bisa jadi sutradara. Memimpin teamwork itu sepertinya susah. Kalo kameramen atau penulis naskah mungkin aku bisa. "
Kak Clarence menepuk bahunya pelan. "Yah, nggak papa juga sih. Gue nggak maksa. Senyaman lo aja, keduanya juga boleh kok. Sekiranya lo punya ide yang bagus untuk naskah, kenapa nggak?"
Zeva termangut-mangut setelah mendengar itu. Sejak dulu Kak Clarence selalu sama. Pengertian dan tidak memaksa kehendak. Mungkin itu sebabnya ia merasa lebih nyaman terbuka dengannya dibanding senior yang lain.
"Oh iya, seinget gue tema tahun ini lumayan. Love yourself kedengerannya cliché. Menurut lo gi-"
"ZEVANYA!"
Panggilan keras itu memotong kalimat Kak Clarence. Seketika Zeva menoleh ke sumber suara. Dilihatnya sosok dengan kucir scrunchies merah itu menghampirinya dengan wajah yang tak ramah. Tidak salah lagi, Jihan. Alisnya saling bertautan, matanya memandang Zeva tajam seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
What If [SUDAH TERBIT]
Ficção Adolescente🙌 Naskah terbaik Tantangan Menulis Rasi Publisher dalam tema kehidupan sekolah ✨ "Pernah nggak sih lo kepikiran, gimana kalau ada sesuatu yang dirahasiain dari kita bertahun-tahun?" *** Setelah Kiran pergi, Zeva memandang hidupnya sebagai roll film...