Zeva masih tidak percaya apa yang telah terjadi. Kamera kesayangannya hancur parah di bagian lensa. Dinyalakannya saja tidak bisa. Seketika ia tidak yakin kamera itu bisa diperbaiki. Kini benda itu tergeletak di atas meja.
Tak hanya itu. Dalam ruangan BK (bimbingan konseling) ini, ia harus terjebak berdua dengan cowok itu. Ya, orang yang menggilas kameranya. Si cowok berambut spike ke atas dan mengenakan hoodie berwarna hijau tua. Dia terlihat memakai pomade dan parfum beraroma musk. Sedari tadi, orang itu berjalan bolak-balik dalam ruang BK sembari menghela napas berkali-kali.
"Ya, Allah! Mimpi apa gue semalem, kok jadi begini," desah cowok itu.
Zeva hanya menatapnya sebentar, lalu menunduk. Ia tetap diam walaupun sebenarnya kemarahannya meluap. Namun ia berusaha berpikir dengan matang, meluapkan amarah di ruang BK bukanlah hal yang baik. Lagipula, sebenarnya ia juga memiliki kesalahan karena ceroboh membawa kamera. Andai saja saat itu talinya tetap tergantung di lehernya mungkin ending-nya akan berbeda.
Krieet!
Pintu terbuka secara tiba-tiba. Kedua orang itu langsung mengarahkan pandangannya ke ambang pintu. Bu Saskia, guru pembimbing konseling, berdiri di sana. Pembawaanya tetap tenang namun tatapannya tajam ke arah cowok itu.
"Selamat pagi, Zevanya ...." Bu Saskia menjeda ucapannya dan memandang cowok itu, "... Ezra! Seingat saya waktu kelas 10 kamu sering ke sini. Ealah baru awal semester kamu ke sini lagi."
Cowok bernama Ezra itu meringis sambil membungkuk sedikit. Berbeda dengan Zeva yang langsung berdiri dan menyalami tangan Bu Saskia. Setelah itu beliau duduk di kursinya. Sementara Ezra duduk di sebelah Zeva, berseberangan dengan guru itu.
"Jadi ... saya dengar kamu menerobos anak-anak kelas 10 dan merusak kamera ini. Benar begitu?"
Lagi-lagi Ezra hanya bisa diam dan mengangguk. Tak ada pembelaan lebih lanjut.
"Saya berpikir, kamu sudah tahu alasan kenapa anak-anak kelas 11 dan 12. selain pembimbing dari OSIS, masuk jam tujuh. Semua itu supaya tidak bentrok dengan adek kelas kalian," jelas Bu Saskia. Kini tatapannya mengarah ke Zeva. "Zeva, karena sebetulnya permasalahan ini termasuk masalah personal, maka di sini saya bertindak sebagai mediasi saja. Nah, sekarang baiknya bagaimana, silahkan kamu dan Ezra pikirkan. Tentunya Ezra perlu bertanggungjawab kan."
Zeva mengatupkan kedua tangannya di atas paha. Tiba-tiba diberi pertanyaan seperti tentu ia tidak menyiapkan jawabannya. Namun dalam hatinya, ia membetulkan ucapan Bu Saskia. Tanggungjawab itu perlu agar masalah ini segera selesai. Tapi jika ia kembali mengulang kejadian tadi dalam benaknya, ia ragu siapa yang sebenarnya benar-benar bersalah. Secara ia sendiri lalai sampai bisa terdorong begitu.
"Sebetulnya, Bu ... itu juga kesalahan saya karena nggak hati-hati ...," jawabnya dengan gantung.
Sejenak ia melirik ke arah Ezra. Ekspresi cowok itu terlihat kusut. Ia bisa melihat rasa bersalah dalam mata Ezra. Itu membuatnya tidak tega. Bayangkan saja kalau ia menuntut mengganti kamera itu dengan yang baru. Harganya saja mahal. Mana ada seorang pelajar yang bisa meminta uang mendadak ke orang tua. Uang saku pelajar saja tidak seberapa.
"Jadi bagaimana?"
Untuk beberapa saat Zeva berpikir mendalam. Ia menghela napasnya panjang dan berkata, "ibu benar, Ezra bertanggungjawab untuk gantiin kamera saya. Mungkin akan saya beri keringanan membayar sebagian, karena ini bukan sepenuhnya kesalahannya. Ini kecelakaan."
"Solusi yang bijak, nak. Tapi apa kamu bener-bener serius dengan piilhan patungan seperti itu? Apa kamu nggak akan merasa dirugikan?"
"Saya yakin."
KAMU SEDANG MEMBACA
What If [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction🙌 Naskah terbaik Tantangan Menulis Rasi Publisher dalam tema kehidupan sekolah ✨ "Pernah nggak sih lo kepikiran, gimana kalau ada sesuatu yang dirahasiain dari kita bertahun-tahun?" *** Setelah Kiran pergi, Zeva memandang hidupnya sebagai roll film...