Bab 3

25.5K 3K 130
                                    

Selamat Membaca







Pagi ini adalah hari pertama Putra kembali ke rumah sakit, setelah beberapa hari cuti karena pernikahannya. Di meja makan, sudah ada Caca yang duduk di kursi bayi sembari memakan biskuit di kedua tangannya.

“Anak papa belum mandi, kok, udah makan aja,” ujarnya sembari mencium kepala Caca penuh kasih sayang.

“Abang udah mau berangkat?”

Putra menoleh, dan menemukan Raina yang tengah berjalan ke arahnya sambil membawa sepiring ayam balado.

“Iya. Kamu udah rapi, mau ke mana?” tanya Putra sambil menatap penampilan Raina pagi ini.

Kaus polos berkerah dengan warna pastel, dipadukan dengan rok putih selutut. Semuanya terlihat pas dikenakan oleh gadis itu.

Kenapa semakin hari, Raina semakin kelihatan manis, sih?

“Ini sekalian aku mau minta izin. Mau keluar sebentar, ada meeting sama editorku. Boleh?”

Putra mengerjab beberapa kali saat wajah Raina begitu dekat dengannya. Lelaki itu berdeham pelan, dan mendorong pelan kening gadis itu dengan jari telunjuknya.

“Di mana?”

“Di daerah Kemang, boleh? Sekalian aku ajak Caca. Editorku mau kenalan soalnya.”

“Yaudah, boleh. Tapi, jangan terlalu lama di luar, kasihan Caca nanti. Dan, perginya harus sama sopir.”

“Iya, Papa,” jawab gadis itu sembari tersenyum manis ke arah Putra, yang sempat membuat lelaki itu termenung selama beberapa detik.

Putra berdeham pelan, dan mulai mengeluarkan dompet dari saku celananya. Lelaki itu mengeluarkan satu kartu, dan menyerahkannya kepada Raina.

“Mulai saat ini, kamu yang pegang gajiku.”

Mata Raina membulat tidak percaya. Gadis itu hendak berucap, tapi Putra lebih dulu menghentikannya.

“Jangan nolak. Itu memang hak kamu.”

Raina mengerutkan kening, sebelum mengambil kartu yang Putra sodorkan. “Siapa juga yang mau nolak. Aku cuman mau tanya, pinnya berapa?” tanyanya dengan senyuman lebar.

Untuk beberapa saat, Putra sempat tidak mengerti cara Raina berpikir. Gadis itu memang berbeda dengan Rania. Dulu, Rania selalu tidak mau jika Putra menyuruhnya memegang semua uangnya. Tapi, Raina malah terlihat dengan senang hati menerimanya.

“2104.”

Senyuman yang sedari tadi singgah di wajah Raina, perlahan menghilang. Itu tanggal pernikahan Rania dan Putra. Dia mengingatnya dengan jelas, karena tanggal pernikahannya hanya selisih satu angka, yaitu 2103.

Putra kembali menunduk ke arah Caca. Lelaki itu tidak memerhatikan perubahan waut wajah Raina. “Papa berangkat kerja dulu ya, sayang. Nanti jangan nakal sama Mama Raina.” Lelaki itu menjatuhkan kecupan panjang di dahi sang anak, sebelum menegakkan tubuhnya.

Dia menatap Raina dengan kening mengerut. “Kenapa?” tanyanya saat Raina terus memerhatikannya.

“Mama Raina nggak dicium juga, Papa?”

Putra berdeham pelan, tangannya singgah ke kepala Raina, dan mengusapnya lembut.

“Saya berangkat dulu.”

Dan, pagi itu Raina hanya bisa menatap punggung Putra dengan bibir dikerucutkan. Lelaki itu membangun tembok dengan begitu kokoh. Tapi, Raina tidak akan menyerah begitu saja.

RAINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang