Bab 8

21.6K 2.7K 159
                                    

Selamat Membaca







Sejak pertengkaran pagi tadi, Raina memilih mendiamkan Putra. Dia tahu seharusnya tidak semarah tadi. Namun, Raina gadis biasa. Amarah sering kali menyelimutinya dengan begitu kuat. Raina ingin bersikap dewasa dan mengerti posisi Putra. Tapi, ternyata tidak semudah itu.

Apalagi, sampai sore menjelang malam begini, Putra juga memilih mendiamkannya. Tidak berniat mengajaknya berbicara lebih dulu. Raina tentu saja gengsi untuk memulai lebih dulu. Dia marah dan ingin dibujuk, tapi Putra mana mengerti hal begitu.

“Nak Putra.”

Putra yang tengah berdiam diri di gazebo samping kolam renang menoleh. Dia tersenyum ke arah Ibu Gladis yang tengah berjalan ke arahnya.

“Duduk, Bu. Gilang di mana?”

“Lagi main sama Caca di ruang tengah. Ada Raina juga di sana,” jawab Ibu sembari duduk di samping Putra.

Putra manggut-manggut mengerti, dan kembali menatap ke arah kolam renang dengan pandangan menerawang. Sedikit banyak pertengkarannya dengan Raina tadi telah mengganggu fokusnya.

Mata gadis itu yang berkaca-kaca ketika menatapnya, membuat sesuatu di dalam hati Putra terasa tidak nyaman. Raina adalah gadis yang ceria dan tangguh. Begitu Putra mengenal istrinya itu.

“Lagi berantem sama Raina?” tanya Ibu Gladis yang membuat Putra menoleh ke arahnya. “Ibu tadi nggak sengaja kedengaran. Gara-gara lelaki yang tadi pagi ke sini, ya?”

Putra tersenyum kecut, lalu mengangguk. Tidak berniat berbohong karena sepertinya dia butuh tempat untuk bercerita. Putra tidak ingin masalahnya dengan Raina berlanjut sampai hari berganti.

Dan, sedetik kemudian mengalirnya cerita dari mulut Putra. Tidak ada yang ditambahi atau dikurangi, Putra menceritakannya secara jelas.

“Saya salah ya, Bu?”

Ibu Gladis tersenyum, lalu menepuk pelan bahu Putra. “Ibu tahu niat kamu baik. Tapi, caranya yang salah,” ujarnya penuh kelembutan.

“Kamu mau membantu Ibu dari lelaki tadi, kan? Sebagai seorang dokter, jiwa sosial kamu pasti tinggi. Dan, sebagai seorang anak yang sudah tidak memiliki Ibu, hati kecil kamu juga tergerak. Itu tidak salah, Putra. Tapi, penyampaian kamu terhadap Raina yang salah.”

Putra mendengarkan dengan seksama. Selama kurang lebih satu bulan menjalani pernikahan dengan Raina, lelaki itu masih cukup kesulitan untuk menebak jalan pikiran istrinya itu. Berbeda dengan saat bersama Rania dulu.

“Lelaki tadi adalah orang dari masa lalu, Raina. Dan, masa lalu kadang selalu membawa kenangan yang kurang menyenangkan. Mungkin Raina mengira kalau dengan mendengar perkataan kamu tadi, bisa saja membuat lelaki itu mengira kalau rumah tangga kalian kurang baik. Sementara maksud kamu bukan seperti itu, kan?”

Putra mengangguk patuh. “Saya harus gimana, Bu? Raina kalau marah diam. Saya jadi bingung.”

Ibu Gladis tertawa mendengarnya. “Minta maaf, Nak. Raina pasti akan memaafkan kamu.”

“Ibu percaya saya akan mendapatkan maaf dari Raina?”

Ibu Gladis mengangguk tanpa ragu.

“Kenapa?” tanya Putra bingung.

“Kenapa kamu masih tanya?” Ibu Gladis balik bertanya dengan bingung.

“Bukannya semuanya sudah jelas? Karena Raina mencintai kamu. Sejujurnya hati wanita itu lembut. Cukup sentuh di titik yang tepat, maka kamu sudah mendapatkan dunianya. Dan, dari yang ibu lihat, kamu sudah melakukannya. Raina sudah memberikan dunianya untuk kamu.”

RAINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang