Selamat Membaca
"Malam ini kamu tidur di ranjang, biar saya yang tidur di sofa."
Raina mengerutkan kening menatap lelaki yang baru beberapa jam yang lalu sah menjadi suaminya.
"Abang nggak mau tidur bareng sama aku?"
Putra yang tengah melepas jasnya berhenti, lelaki itu menatap ke arah Raina yang masih berdiri di samping ranjang.
"Saya belum siap."
Raina melongo mendengarnya. Bukankah kalau memang harus mengatakan hal tersebut, itu berlaku untuknya yang notabennya adalah seorang perempuan? Kenapa ini jadi kebalikannya?
"Saya belum siap berbagi ranjang dengan perempuan selain Rania." Setelahnya, Putra berlalu begitu saja masuk ke dalam kamar mandi.
Raina menghela napas berat mendengarnya. Dia mengerti kalau Putra menikahinya karena terpaksa. Tapi, haruskah lelaki itu bersikap gamblang begitu?
Pernikahan ini dilakukan karena Ayah Rania yang meminta sebelum beliau meninggal beberapa bulan yang lalu. Putra tentu saja tidak bisa menolak permintaan Ayah dari wanita yang dia cintai itu.
Sedang Raina, bisa saja sebenarnya dia menolak pernikahan ini. Tapi, gadis itu masih mengingat permintaan sahabatanya - Rania - kepadanya sebelum gadis itu meninggal.
"Rain, gue boleh minta sesuatu sama lo?" tanya Rania saat dia dan Raina tengah makan siang bersama di salah satu restoran.
"Apa?"
"Kalau seandainya sesuatu hal yang buruk terjadi sama gue. Jagain Putra dan dedek bayi buat gue, ya," ucapnya sembari mengelus perutnya yang membesar itu.
Raina berdecak mendengarnya. "Omongan lo ngelantur, ah. Lagi pula kenapa harus gue? Lo pasti bakal baik-baik aja, Nia. Lo yang bakal jagain Putra sama calon anak lo berdua."
"Rain," panggil Rania sembari menggenggam tangan Raina di atas meja. "Tolong," ujarnya dengan penuh permohonan.
Saat itu, Raina hanya mengangguk acuh dan kembali melanjutkan makannya.
"Makasih, Raina. Gue percaya lo bisa buat suami dan anak gue bahagia nantinya."
Seharusnya saat itu Raina tidak menyanggupi permintaan Rania. Seharusnya Raina tidak menganggap remeh perkataan Rania. Ingin menolak, tapi gadis itu merasa ada tanggung jawab yang harus dia lakukan.
"Belum tidur?"
Raina yang duduk di ranjang menoleh. Dia melihat Putra yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan menggunakan kaus putih polos dan celana pendek selutut.
"Ini mau tidur," ujar Raina sembari beranjak ke tengah-tengah ranjang.
Putra mengangguk, dan duduk di sofa. Untuk sesaat, matanya memandang Raina yang tertidur di ranjang, sebelum membaringkan dirinya di sofa sempit itu.
Beberapa menit berlalu, tapi baik Putra atau Raina, keduanya belum juga bisa memejamkan mata mereka.
"Rain," panggil Putra sembari menatap langit-langit kamar hotel yang mereka tempati itu.
"Ya?" sahut Raina yang juga tengah menatap langit-langit kamar hotel.
"Kasih saya waktu."
Raina akhirnya melirik ke sofa tempat Putra tidur. Tapi, gadis itu memilih diam, menunggu kelanjutan perkataan lelaki itu.
"Kasih saya waktu untuk membiasakan diri dengan kehadiran kamu. Kasih saya waktu untuk bisa... belajar mencintai kamu."
Untuk sesaat Raina termenung menatap sosok Putra yang tengah berbaring itu. Tadinya, dia berpikir kalau Putra akan seperti sosok lelaki kejam dan tidak berperasaan di novel romance yang biasa dia tulis. Tapi, ternyata Raina salah. Putra adalah sosok lelaki yang sulit ditebak.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAINA
RomanceAnggoro series 2. Menikah dengan lelaki yang masih terbayang-bayang oleh masa lalunya, tidaklah mudah. Ada hati yang harus siap dikorbankan kapan pun, karena luka akan datang setiap harinya. Sebenarnya, sudah kodratnya, jika kalian mencintai, maka s...