Bab 6

22.7K 2.7K 125
                                    

Selamat Membaca





Putra berjalan di lorong-lorong rumah sakit dengan senyuman tipis yang tersungging di wajahnya. Hal yang membuat beberapa perawat dan dokter menoleh dua kali ke arahnya - karena lelaki itu jarang tersenyum di rumah sakit setelah kematian istrinya.

"Senyuman lo menyilaukan pagi gue yang melelahkan ini."

Putra menoleh, dan menemukan Raka - teman sekaligus dokter di rumah sakit ini.

"Lo jaga malam?"

Raka mengangguk. "Gimana malam pertama lo sama istri baru lo itu? Oh, apa seharusnya gue nggak perlu tanya, ya? Dari cengiran lo aja, harusnya gue udah bisa nebak, kalau adiknya Caca udah diproses. Benar, kan?" tanyanya dengan kikikan geli.

Sedang Putra hanya berdecak. Dia membuka pintu ruangannya, sebelum masuk ke sana diikuti Raka di belakangnya. "Kenapa pikiran lo terus mengarah ke adiknya Caca? Anak gue masih setahun, Ka," kata Putra sembari mengganti pakaiannya.

"Dan, masalahnya?" Raka menatap Putra dengan tatapan menyelidik. "Lo belum nyentuh istri lo?" tanyanya dengan tidak menyangka.

Putra tidak memberikan jawaban. Lelaki itu menyalakan komputernya, dan memeriksa jadwalnya di sana.
Raka berdecak. Dia mengambil sebotol air putih di meja ruangan Putra, sebelum meminumnya. "Lo belum ngomong sama dia?"

"Udah," jawab Putra dengan tidak mengalihkan pandangan dari layar komputernya.

"Dan, hasilnya?"

Kali ini Putra menatap ke arah temannya itu. "Kita memutuskan untuk memulai semuanya dari awal, tanpa kebohongan."

Raka tertawa sinis, dan menggeleng tidak percaya. "Lo nikah sama Raina udah satu bulan. Tinggal satu rumah, tidur satu ranjang. Tapi, lo sama sekali belum nyentuh dia? Lo waras nggak, sih?"

"Pelan-pelan, Ka. Semuanya nggak bisa dilakukan secara tergesa kayak yang lo mau gitu. Gue perlu waktu untuk membiasakan diri dengan kehadirannya Raina. Begitu pun dengan dia, Raina harus kenal dulu baik buruknya gue." Putra berdeham pelan. "Dan, juga, siapa yang bilang kalau gue dan dia tidur satu ranjang?"

"WHAT?!" Raka menatap Putra dengan tatapan horor. "Jadi, selama sebulan nikah, kalian nggak pernah seranjang?" Lelaki itu terlihat tidak percaya dengan apa yang barusan didengar olehnya.

Sesaat kemudian, Raka menatap Putra dengan serius. "Put, lo masih sehat, kan? Nggak ada kelainan apa pun, kan? Lo masih laki-laki, kan?" tanyanya dengan menekankan kalimat terkahirnya.

Putra berdecak, dan menatap malas ke arah sahabatnya itu. "Lo bisa keluar dari ruangan gue, sebelum gue lempar vas bunga ini ke kepala lo," ujarnya kalem.

Raka menggeleng tidak percaya. Lelaki itu tampak tidak takut dengan perkataan Putra. "Lo nggak napsu sama Raina? Nggak tertarik sama dia? Ini dia istri sah lo, ya. Perempuan yang halal lo sentuh kapan pun lo mau. Lo yakin sehat? Kok, gue meragukan itu, ya."

Putra mengembuskan napas kasar, dan berdiri dari duduknya. Lelaki itu meraih jas putihnya, lalu menatap Raka dengan pandangan malas. "Kalau lo nggak mau keluar. Gue yang keluar," katanya sembari berjalan ke pintu keluar.

Tidak lagi memedulikan perkataan Raka yang terus mengolok-ngoloknya. Bohong kalau Putra tidak tertarik dengan Raina. Terlepas dari apa pun yang terjadi, gadis itu cantik dan menarik dengan caranya sendiri.

Pembawaannya terlihat begitu dewasa. Cantik tanpa menggunakan makeup berlebih. Cara bicaranya terdengar tegas, namun lembut di waktu yang bersamaan. Raina istimewa. Putra tahu itu.

Namun, seperti yang sudah Putra katakan kepada gadis itu. Dia tidak akan menyentuh Raina, sebelum dirinya benar-benar ikhlas melepas Rania.

***

RAINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang