Selamat Membaca
Raina dan Putra saat ini tengah berjalan kaki untuk pulang ke rumah. Mobil Putra ada di bengkel – hal yang membuat lelaki itu terlambat datang untuk makan malam bersama Raina.
Setelah perkataan Putra di angkringan tadi, keduanya lebih banyak diam. Raina sibuk dengan pikirannya sendiri. Mencoba menyimpulkan apa yang sebenarnya di maksud oleh lelaki itu.
Gadis itu bahkan tidak sadar, jika kini jalannya terlalu menengah, yang membuat Putra segera menariknya mendekat, karena ada motor yang lewat.
“Kalau jalan, matanya dipakai buat lihat. Jangan melamun aja,” ujar lelaki itu terdengar sedikit ketus.
Raina cemberut, dan kembali berjalan, dengan sesekali mencuri pandang ke arah suaminya itu. Sebenarnya apa, sih, maunya lelaki itu? Bilangnya perlu waktu untuk membiasakan diri dengan kehadirannya. Lalu, tadi itu apa?
Lagi-lagi karena tidak terlalu melihat jalanan di depannya. Raina tersandung batu kecil, yang membuatnya jatuh terduduk di aspal.
Gadis itu meringis sembari melihat lututnya yang tergores. Sedang Putra masih berdiri di tempatnya, sembari menatapa Raina dengan pandangan tidak percaya.
“Kamu kenapa, sih? Kayak anak kecil aja. Jalan doang pakai acara jatuh.”
Raina berdecak, dan menatap kesal ke arah Putra. “Istri jatuh itu ditolongin. Bukannya malah diomelin,” gerutunya sembari berusaha bangkit berdiri sendiri.
Catat. Sendiri. Suami tidak peka seperti Putra, mana mungkin mau mengulurkan tangan untuk membantunya. Lelaki itu kan tidak punya hati.
Gadis itu menatap Putra dengan mata menyipit, sebelum memutuskan untuk berjalan lebih dulu. Dia kesal tentu saja. Di novel yang dia tulis, mungkin kejadian tadi sudah menjadi adegan romantis pemeran utama. Pulang digendong misalnya. Tapi, Raina lupa kalau dia menikah dengan lelaki yang hatinya sudah mati.
Raina masih asyik dengan segala umpatan yang dia tujukan kepada Putra, sebelum tiba-tiba saja kehangatan melingkupi tangannya. Gadis itu menoleh, dan menemukan Putra yang tengah berjalan di sampingnya, sembari menggenggam tangannya.
“Biar nggak jatuh lagi,” ujarnya singkat sembari terus melihat ke jalanan di depannya.
Raina mengembuskan napas pelan, dan berdecak. “Abang udah jatuh cinta sama aku?” tanyanya yang membuat Putra berhenti melangkah, dan menatapnya terkejut.
“Jatuh cinta?” ulang lelaki itu dengan kening mengerut.
“Iya, jatuh cinta. Kencan pertama kita. Perkataan Abang di angkringan tadi, dan sekarang pegangan tangan,” katanya sembari mengangkat tinggi genggaman tangannya dan Putra. “Abang udah cinta sama aku?”
Putra menggeleng pelan menatap Raina. Tangannya yang bebas mengetuk pelan kening gadis itu. “Di sini, sebenarnya bisa membedakan dunia asli, dan dunia novel, nggak? Jatuh cinta nggak semudah membalik telapak tangan, Raina.”
“Terus kenapa bilang gitu, dan pegang-pegang aku?” Gadis itu masih mempertanyakan hal-hal yang menurutnya cukup aneh.
“Pegangan tangan antara suami dan istri itu menggugurkan dosa. Kamu nggak mau berkurang dosanya?”
“Kalau pegangan tangan aja bisa menggugurkan dosa. Apalagi, berbagi ranjang. Pahalanya semakin berlipat, kan?”
Raina sengaja tidak bertanya dengan begitu jelas, tapi gadis itu berharap semoga Putra mengerti betul apa maksudnya. Lelaki itu sendiri yang mengatakan belum siap berbagi ranjang dengan Raina. Dia sendiri yang menghindari Raina selama kurang lebih satu bulan. Dan, malam ini tiba-tiba saja lelaki itu berubah? Kenapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
RAINA
RomanceAnggoro series 2. Menikah dengan lelaki yang masih terbayang-bayang oleh masa lalunya, tidaklah mudah. Ada hati yang harus siap dikorbankan kapan pun, karena luka akan datang setiap harinya. Sebenarnya, sudah kodratnya, jika kalian mencintai, maka s...