Bab 4

24K 3K 189
                                    

Selamat Membaca









“Kalau urusannya udah selesai, pulang,” kata Putra begitu dia dan Raina sudah berada di luar kafe.

“Abang, marah?” tanya Raina begitu Putra hendak berjalan ke arah mobilnya.

Sesaat, Putra menatap Raina dengan pandangan lurus, sebelum lelaki itu menjawab dengan santai. “Marah hanya ditujukan untuk suami yang mencintai istrinya, Rain. Sedang, saya tidak,” katanya yang mampu membuat Raina bungkam.

Putra menatap ke arah Ivi yang tengah menggendong Caca, berdiri beberapa langkah di depannya.

“Itu editor kamu? Ganti tempat aja kalau merasa nggak nyaman di sini.” Lelaki itu terus berbicara tanpa memedulikan perubahan raut wajah Raina.

“Terus kenapa di dalam Abang bilang kayak gitu sama Bayu? Menegaskan seolah-olah Abang sangat mencintai aku,” ujar Raina yang membuat Putra kembali menatapnya.

“Kamu mau menunjukkan hubungan rumah tangga kita yang sesungguhnya di depan banyak orang? Bukannya suami istri itu harus saling menutupi aib masing-masing?”

“Itu berlaku untuk suami istri yang saling mencintai. Sedang kita tidak,” jawab gadis itu dengan berani.

“Yang saya katakan kepada lelaki tadi, adalah bentuk penjagaan saya terhadap kamu. Saling mencintai, atau tidak, saya akan tetap menjaga kamu, karena saat ini kamu adalah Ibu dari anak saya.”

Dan, Raina hanya bisa mendengus kesal. Lelaki di depannya ini tidak berperasaan. Lalu, bisa-bisanya Raina merasa bahwa dia mulai menyukai suaminya itu?

Putra menatap Raina dengan pandangan menyipit. “Kamu, marah?” tanyanya ragu.

Gadis itu hanya bisa mengembuskan napas pelan, dan menggeleng. “Enggak, aku cuman bingung aja sama jalan pikirannya Abang.” Lalu, dia tersenyum kecil. “Mau pergi, kan? Yaudah, sana.” Tangannya tergerak meraih tangan Putra, dan mengecupnya lembut. “Hati-hati,” ujarnya sebelum berjalan menghampiri Ivi yang sudah tampak kerepotan karena Caca mulai merengek.

Putra hanya bisa menatap punggung Raina dalam diam. Maafkan saya, Raina. Saya tidak bermaksud membuat kamu terluka. Tapi, saya juga tidak bisa berbohong hanya untuk menyenangkan hati kamu.

***

Satu bulan sudah berlalu. Hubungan antara Putra dan Raina tidak menunjukkan kemajuan sama sekali. Bahkan, kini Putra malah semakin sibuk dengan pekerjaannya. Begitu juga dengan Raina yang kini disibukkan karena salah satu naskahnya akan diangkat ke layar lebar.

Keduanya jarang bertemu, kecuali saat sarapan bersama. Raina lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Caca. Menikmati pertumbuhan gadis kecil itu.

“Abang nggak mau sarapan?” tanya Raina begitu Putra terlihat berjalan keluar rumah dengan tergesa.

“Tidak, saya ada panggilan mendesak. Saya harus pergi sekarang.” Lelaki itu berjalan mendekat, dan mengecup kepala Caca yang berada di gendongan Raina. “Saya pergi dulu,” ujarnya sembari mengusap lembut kepala Raina.

Setelah Putra pergi, Raina hanya mampu menghela napas pelan. Dia menatap ke arah Caca, begitu anak itu menarik-narik rambutnya. “Papa kamu nyebelin, Nak.” Dan, Caca hanya tertawa pelan saat Raina menciumi pipinya dengan gemas.

Saat siang tiba, Raina meminta sopir untuk mengantarnya ke rumah Gladis. Dia perlu menitipkan Caca sebentar di sana, karena dia harus pergi ke suatu tempat.

Selesai mengantar Caca ke rumah Gladis, Raina meminta sopir mengemudikan mobil menuju pemakaman Rania.

Beberapa menit perjalanan, Raina sampai di pemakaman Rania. “Bapak tunggu saya di sini aja, ya. Saya nggak akan lama, kok.”

RAINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang