"Xiaojun," panggil Xuxi.
Xiaojun sudah berbaring cukup lama di tempat tidur, mungkin sekitar dua puluh menit. Xuxi tahu sahabatnya itu belum tidur. Namun sejak tadi ia merasa Xiaojun sedang tidak bisa diajak bicara. Mungkin karena masih patah hati.
"Xiaojun," panggilnya lagi.
Laki-laki yang menjadikan alis tebal dan hidung bak perosotan sebagai senjatanya untuk menebar pesona itupun menggeliat. Sebenarnya ia hampir saja pulas, tapi Xuxi malah mengganggunya.
"Apa lagi? Sejak tadi kau hanya memanggil-manggil namaku. Setelah itu melamun. Entah apa yang mau kau sampaikan. Aku tidak bisa membaca pikiran orang lain, Xuxi," oceh Xiaojun.
Xuxi sadar kalau perilakunya daritadi membuat Xiaojun kesal. Bagaimana tidak kesal jika sahabat kita sendiri seperti sedang memendam sesuatu, tapi takut untuk mengungkapkannya.
"Kau cukup mengenalku dengan baik, Huang Xuxi. Jadi kau bisa katakan apa saja padaku, sekalipun itu hal yang menurutmu tidak akan bisa diterima siapapun," ucap Xiaojun penuh penekanan.
Biasanya jika Xiaojun sudah memanggil Xuxi dengan nama lengkapnya, itu berarti ia sangat serius dan akan marah jika Xuxi tidak menanggapinya.
Sekitar dua menit berlalu semenjak Xiaojun terpaksa mengangkat tubuhnya untuk duduk dan menatap Xuxi. Tidak ada respon dari yang diajak bicara. Masih melamun, sama seperti tadi.
Xiaojun mengambil bantal yang ia pakai tadi dan memukulkannya ke kepala Xuxi berkali-kali— saking kesalnya.
"Kau menganggapku apa? Tinggal bicara saja susah sekali, sih," eluh Xiaojun.
Ia beranjak dari kasur, membuka pintu, dan menutupnya rapat-rapat— sedikit kencang untuk menunjukkan ia benar-benar sedang marah.
Xuxi yang melihat itu semua hanya diam. Jauh di dalam lubuk hatinya ia sedang ketakutan. Ia takut Xiaojun tidak bisa menerimanya sebagai teman setelah ia menceritakan semuanya. Ia takut ia dianggap gila atau tidak waras.
Xuxi hanya bingung harus mulai darimana. Toh sebenarnya ia juga belum yakin betul dengan perasaannya.
Malam itu hujan sangat deras. Xuxi kebetulan meminjamkan kaos tipis kebesaran juga celana training kepanjangan untuk Xiaojun. Cukup menghangatkan, tapi akan jauh lebih hangat jika Xiaojun meminum coklat panas.
Saat sedang menyibukkan dirinya di dapur, ia mendengar suara langkah kaki di tangga. Untuk apa Xuxi menyusulnya, membuat kesal saja, pikirnya.
Melihat Xuxi yang langsung duduk di meja makan— dengan tatapan yang masih kosong, Xiaojun hanya bisa menggelengkan kepala.
"Kau mau juga?" tanya Xiaojun, sedikit terpaksa.
"Apa?"
Xiaojun tidak menjawab. Ia tahu pikiran Xuxi sedang tidak ada di tempatnya.
"Minumlah. Tiup dulu, panas," ucap Xiaojun.
Ia kemudian berlalu ke ruang keluarga, duduk di sofa, dan menyalakan televisi. Ia tidak pernah menonton televisi selarut ini sebelumnya, tidak tahu juga jika ada acara yang menarik atau tidak. Tapi biarlah, daripada ia hanya diam-diam saja dengan Xuxi.
Tidak lama Xuxi menyusul, membawa coklat panas yang Xiaojun buatkan untuknya. Ia duduk di ujung sofa sebelah kiri sedangkan Xiaojun di ujung sofa sebelah kanan. Ada jarak yang cukup jauh di antara mereka— bisa ditempati tiga orang dewasa untuk duduk kira-kira.
"Xiao—"
"Kalau kau hanya memanggil-manggil namaku terus, lebih baik—"
"Tidak. Kali ini aku serius. Ini soal hatiku, Xiaojun."
Xiaojun menarik napas dalam-dalam. Ia mengingat saat dimana ia benar-benar terkejut melihat Xuxi dan Guanheng berciuman waktu itu. Mungkin mereka pikir reaksi Xiaojun biasa saja, tapi sejujurnya— bisa dibilang itu adalah suatu hal yang bisa mengingatkannya pada trauma masa lalu.
Dimana ia melihat ayahnya berada di kamarnya, tapi bukan dengan ibunya melainkan dengan seorang pria— yang Xiaojun kenal sebagai teman baik ayahnya. Dari situ Xiaojun mulai tidak bisa menerima kenyataan bahwa cinta sesama jenis itu ada.
"Guanheng," ucap Xuxi ragu-ragu.
"Aku tahu dan sudah menduganya sejak saat itu," potong Xiaojun.
"Aku tidak mengerti dan tidak bisa merubah perasaanmu, Xuxi, tapi maaf. Aku tidak bisa mendukungmu masalah itu," sambungnya.
"Kenapa?"
Jelas Xuxi bertanya kenapa, karena Xiaojun tidak pernah menceritakan perihal kejadian yang menimpa ayahnya itu.
"Kau tidak menyukaiku, kan? Atau kau juga menyukai Guanheng?" tanya Xuxi yang membuat emosi Xiaojun semakin tidak stabil.
"Kau gila? Lalu menurutmu aku pura-pura menyukai Zhiruo hanya untuk menutupi orientasi seks asliku? Bodoh. Kau sangat bodoh, Xuxi."
Xiaojun pergi dari sana, entah kemana. Mungkin kembali ke kamar untuk tidur dan melupakan kejadian malam ini. Obrolannya dengan Xuxi tadi benar-benar buruk dan belum pernah ia duga sebelumnya.
Xiaojun, apa kau bersama Xuxi? Aku berkali-kali menghubunginya, tapi tidak ada jawaban. Bisakah kau memberitahunya kalau aku ingin bicara?
Dan sekarang, ia mendapat pesan singkat dari Guanheng menanyakan apakah ia bersama Xuxi atau tidak. Benar, Xiaojun terjebak. Ia benci, sangat membenci hal ini.
Aku bukan bagian tubuh Xuxi yang selalu menempel dengannya. Aku juga bukan merpati yang rajin mengirimkan pesan, balas Xiaojun.
🌼🌈💚🍓
"Kau kenapa?"
Xiaojun sedang duduk menghadap belakang memperhatikan loker dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Ada Xuxi dan Guanheng disana. Entah apa yang Guanheng berikan pada Xuxi, tapi sepertinya sebuah kartu undangan yang terlihat sangat berkelas.
"Kau tidak mendengarku?" tanya Yongqin lagi.
Xiaojun hanya mendengus dan membalikkan badannya. Sialnya, di depan sana ada Liuyu yang sedang menuliskan puisi cinta untuk Zhiruo di papan tulis— terlebih lagi perempuan yang pernah ia sukai itu terlihat sangat senang sampai deretan gigi depannya terlihat semua.
Sudahlah, kemarin dan hari ini bukan hari yang baik untuknya. Tidak tahu dengan besok, mungkin akan lebih buruk, pikir Xiaojun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aster & Carnation
FanfictionHendery; the Aster represents love, patience, and charm. Lucas; the Carnation represents pure love, good luck, and admiration. 🌈 ♂️x♂️; warning!