Guanheng pikir Xuxi benar-benar butuh air untuk menyadarkan pikirannya. Karena itu, ia pergi ke kamar mandi, membasahkan kedua tangannya dengan air lalu mengusapkannya pada wajah Xuxi berkali-kali.
"Kau ini— kenapa Guanheng?" tanya Xuxi sambil berusaha menepis tangan Guanheng dari wajahnya.
"Kau tidak lihat matahari yang sudah bersinar sangat terang di luar? Kita terlambat Xuxi!" jelas Guanheng.
Guanheng lalu membereskan buku-buku dan tasnya. Tidak hanya miliknya, tapi milik Xuxi juga. Ia juga sudah membungkus rapih maket kapal layar itu semalam. Seharusnya pagi ini mereka bisa langsung jalan dengan tenang, tapi nyatanya malah seperti ini.
Xuxi sudah selesai memakai seragam milik Guanheng. Tampak sangat kekecilan memang, tapi tidak ada pilihan lain. Kalau saja seragam kemarin dan hari ini sama, Xuxi tidak mau memakai seragam Guanheng yang membuatnya sesak napas seperti sekarang.
"Ayo berangkat, tidak ada sarapan pagi ini," ucap Guanheng kemudian setengah berlari dari kamarnya.
"Guanheng, tunggu!" pinta Xuxi yang masih susah payah mengancingi celananya.
"Kita naik motormu saja ya?"
"Baiklah."
Untung saja kunci motornya tidak pernah Xuxi keluarkan dari tasnya. Kalau tidak, habis sudah waktu mereka semakin terbuang.
"Kau yakin kuat memegang maket itu?" tanya Xuxi.
"Aku yakin bisa. Jangan pikirkan maket ini, yang terpenting sekarang kita harus sampai di sekolah."
Xuxi dan Guanheng tinggal menempuh jarak sekitar empat kilometer lagi untuk sampai di sekolah. Namun sayang, Xuxi menerobos lampu merah dan motor mereka bertabrakan dengan motor lain. Mereka hanya terluka sedikit, kecelakaan itu bukan kecelakaan parah.
Xuxi dan Guanheng memang selamat, tapi maket mereka? Hancur. Tidak sepenuhnya hancur, bisa dibilang tidak layak disebut sebagai maket kapal layar.
Guanheng ingin menangis saat ini juga, bukan karena siku kanannya yang berdarah, tapi karena maket itu. Perjuangan mereka sia-sia, belum lagi hukuman yang siap menanti. Kenapa rasanya berat sekali? Mungkin karena Guanheng jarang ditimpa kesialan.
8.43 pagi, Xuxi dan Guanheng baru saja keluar dari ruang guru. Mereka diminta untuk segera ke ruang kesehatan guna membersihkan luka-luka di tubuh mereka.
Xuxi tampak biasa saja, padahal ia berjuang lumayan keras untuk menyelesaikan maket kapal layar itu. Sedangkan Guanheng, laki-laki itu tampak sangat frustrasi.
"Sudahlah, kau tahu kan di dunia ini tidak ada yang abadi?"
Guanheng mengangguk singkat lalu fokus kembali pada siku kanannya. Ia tidak merasakan perih sedikitpun, lebih perih hatinya justru.
"Sebentar, maksudmu apa?"
"Maket itu contohnya, hancur hanya sekejap padahal dibuat berjam-jam. Jadi tidak ada yang bertahan abadi," jelas Xuxi.
"Berarti kau tidak percaya 'cinta abadi' benar-benar ada?"
"Bisa dibilang seperti itu—"
Krek
Pintu ruang kesehatan itu terbuka. Guanheng lalu tersenyum sebentar dan kembali fokus mengobati lukanya. Xuxi yang duduk membelakangi pintu itu pun menoleh ke belakang dan mendapati Xiaojun disana.
Tidak bertahan lama, Xuxi kembali membalikkan badan begitu melihat Xiaojun berjalan mendekat.
"Tadi pagi aku kesini dan tisu disini habis. Aku tahu kalian butuh ini, jadi aku bawakan," jelas Xiaojun tanpa menoleh ke arah Xuxi sama sekali.
"Xiexie," ucap Guanheng.
"Lukamu tidak parah, kan?"
"Tidak, hanya luka kecil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," balas Guanheng.
"Baguslah kalau begitu," ucap Xiaojun sambil tersenyum.
Xuxi menatap Xiaojun dari samping dengan dahi yang mengerut.
"Lukamu tidak parah, kan?"
Laki-laki itu seolah tidak melihat keberadaan Xuxi di ruangan ini. Xuxi juga terlibat dalam kecelakaan itu. Bahkan Xuxi yang seharusnya Xiaojun khawatirkan bukannya malah Guanheng yang baru dikenalnya beberapa bulan ini.
"Kalian tidak saling menyapa?" tanya Guanheng sebelum Xiaojun melangkahkan kakinya mundur untuk pergi.
Tepat disaat Guanheng menyelesaikan pertanyaannya, Xuxi dan Xiaojun saling menoleh, tidak sengaja lebih tepatnya. Tidak lama tapi, setelahnya mereka membuang muka. Padahal biasanya laki-laki jika memiliki masalah tidak sampai drama seperti ini. Aneh memang mereka berdua, gengsinya sama-sama tinggi.
"Tidak baik bertengkar terlalu lama, apalagi kalian sudah mengenal lama."
"Kita tidak bertengkar," ucap Xuxi dan Xiaojun bersamaan.
Kedua sahabat itu langsung saling menoleh dengan tatapan kesal.
"Sudahlah, tidak bisa disangkal. Kalian ini teman baik, jangan bertengkar karena masalah sepele."
Benar juga. Mereka berdua terlalu drama. Padahal sebelumnya Xuxi dan Xiaojun tidak pernah seperti ini. Mau sampai Xiaojun terluka parah karena tonjokan Xuxi pun, laki-laki itu tidak pernah marah. Kenapa sekarang malah begini? Urusan hati memang lebih sulit.
"Aku sudah selesai. Aku ada janji dengan kakak kelas. Aku pergi duluan ya," ucap Guanheng.
Setelah pangeran berkedok siswa itu pergi, Xuxi mulai membuka mulutnya.
"Maaf."
"Hmm," jawab Xiaojun singkat.
"Apa hukumannya?"
"Hukuman apa?"
"Aku ini satu kelas denganmu, Xuxi. Aku tahu kau tidak mengumpulkan maket itu. Aku juga tahu akan ada hukuman untuk kelompokmu, bukan?"
"Banyak, aku tidak ingat semuanya. Satu-satunya yang aku ingat hanya membuat lagu untuk guru itu. Apa coba hal baik yang bisa aku tuliskan untuknya?" protes Xuxi.
"Kalau urusan membuat lagu, aku bisa membantu, tapi kalau yang lain itu urusanmu."
"Benarkah?" tanya Xuxi lalu langsung menatap Xiaojun dengan wajah jahilnya seperti biasa.
Xiaojun mengangguk singkat, sedangkan Xuxi, laki-laki itu memeluk Xiaojun dari samping. Sahabat yang jauh lebih pendek darinya itu sampai kesulitan bernapas karena tangan kekar Xuxi terlalu kuat menjepit leher Xiaojun.
Plak
Xiaojun memukul luka di punggung tangan Xuxi dengan botol alkohol kosong. Hal itu tentu membuat Xuxi meringis kesakitan. Daripada Xiaojun terkena imbasnya, ia memilih setengah berlari keluar dari ruang kesehatan itu. Xuxi tidak diam, tentu saja ia mengejar sobat karibnya itu.
Guanheng tidak jauh disana, melihat mereka dari depan kelas senior mereka. Ia turut senang kedua sahabat itu sudah membaik. Ia juga tidak ingin dirinya kembali menjadi alasan dibalik pertengkaran Xuxi dan Xiaojun. Namun bagaimana caranya? Apakah Guanheng harus menghindari mereka? Ah, sepertinya tidak bisa.
"Guanheng, kudengar kau diberi hukuman oleh si guru killer itu?" tanya salah satu seniornya.
Guanheng mengangguk, laki-laki itu masih fokus dengan lembaran kertas soal-soal ujian tahun lalu.
"Apa saja hukumannya?"
"Menulis lagu, menulis esai tiga puluh halaman, merangkum isi satu buku biografi, dan membacakan surat cinta untuk pasangan di pertemuan selanjut—"
Guanheng tidak melanjutkan kalimatnya. Ia baru sadar dengan hukuman terakhir itu. Benar, ia baru sadar akan hal itu. Apa ia tidak salah mencatat? Tidak mungkin. Guanheng sangat teliti dan tidak mungkin ia salah, keliru mungkin saja.
"Kau serius dengan hukuman yang terakhir itu?"
"Tidak. Sepertinya aku harus kembali menemuinya dan bertanya—"
"Jangan berharap dia mau menjawab, Guanheng," potong seniornya yang disambut gelak tawa dari beberapa senior yang berada di sekitar mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aster & Carnation
FanficHendery; the Aster represents love, patience, and charm. Lucas; the Carnation represents pure love, good luck, and admiration. 🌈 ♂️x♂️; warning!