Tiga Puluh Empat: Thank You, Danchou

2.6K 368 123
                                    

Beberapa saat sebelum operasi penyerangan terhadap Monyet- Bukan. Maksudnya, Beast Titan.

Nafasnya terengah, tercekik, Ia menerobos uap panas yang keluar dari tubuh Titan Kolosal- Menyergap dengan gesit, mengincar tepat ke arah wajahnya.

Pedangnya menerjang ke arah wajah Raksasa berukuran enam puluh meter itu, darah merah kental nan panas berceceran ke tanah. Meski panasnya nyaris membakar kulit, (Y/N) yang menggila terus menyiksanya tanpa ampun.

"Cebol!" Sebuah suara berteriak. Saat berpaling, ia mendapati Levi yang tengah melemparkan tubuh ke arahnya. Kedua pedangnya terangkat. "Keluarkan anak ini dari wujud Titannya!"

Saat (Y/N) berpijak di tengkuk Bertholdt, alih-alih ia malah menjerit. Suara jeritannya begitu kesakitan, seolah ia nyaris gila.

"Aku tak ingin membunuhmu, Bertholdt." Bentaknya, terpekik. "Aku tak mau melakukan ini pada seorang teman."

Titan Kolosal mengamuk sejadi-jadinya, uapnya semakin panas, mendorong (Y/N) untuk mundur. Air mata tertumpah dari sosok Monster berhati lembut itu.

Kerumunan terkesiap, tak memercayai mata mereka. Komandannya tengah menggila di atas sana, sedangkan mereka tak tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan Hanji tak dapat menghentikan apa yang tengah terjadi.

Levi memeluncur, dalam satu besetan, sosok jangkung Bertholdt terpental dari dalam tubuh Titan Kolosal. Kedua tangan dan kakinya terputus, membuatnya berteriak kesakitan.


"Kau bilang, kau akan membunuh seluruh Titan." Dada Bertholdt naik turun, tersenggal-senggal. Dia letih, terluka, dan pasrah. Matanya terkunci pada sosok bak malaikat itu. "Inilah kesempatanmu."

"Kau-" (Y/N) menghentikan ucapannya. Tangannya mencengkeram leher bocah itu.

"(Y/N), apa kau membenciku?"

"Aku tak membencimu."

"Maafkan aku, aku pun tak ingin seperti ini." Ia merengek seperti anak kecil. "Semua ini menjengkelkan, sampai akhirnya aku bertemu kawan-kawan disini, termasuk kau."

"Lalu kenapa kau melakukan ini semua? Kenapa kau menkhianati orang-orang yang mempercayaimu, bodoh?!"

"Aku tak ada pilihan. Aku juga ingin diselamatkan." Air matanya terasa panas, mengalir mengenai tangan gadis itu. "Bunuh aku, (Y/N). Ini menyakitkan. Kumohon."

"Kehidupanmu di luar Dinding pasti berat, ya? Baiklah, kalau begitu matilah."

"Aku menyuka-"

Pedangnya menikam tepat di jantung. Ia tak msu mendengar kalimat menyedihkan itu. Matanya yang dipenuhi kesedihan kini nampak kosong- Seperti burung, kini ia sudah bisa meninggalkan sangkarnya dan terbang bebas.

(Y/N) menjerit saat tak ada lagi detak di tubuh sang kawan- Dia tak sanggup lagi bersandiwara. "Maafkan aku. Maaf, Bertholdt."

Betapa ia mengetahui kejanggalan anak-anak itu sejak awal, tetap saja jantungnya terasa nyeri setiap kali mengingat kebaikan mereka- Saat-saat berbagi tawa dan kebahagiaan bersama-sama.

Keheningan menekan. Terdengar helaan nafas lega dari para Prajurit yang berkerumun diantaranya. Beberapa lainnya ikut terisak bersamanya, termasuk Jean, Mikasa, dan anggota Pasukan 104 lainnya.

"Terima kasih sudah menyukaiku." Senyuman (Y/N) getir dan nyaris menyakitkan untuk dilihat. Matanya menyapa seluruh orang untuk sedikit berkomunikasi, para Prajuritnya membalas dengan anggukan, pertanda sepakat.

"Ayo, kembalilah pada kenyataan." Hanji membantunya bangkit. "Kita belum selesai."

"Keluarkan Signal-Flare."

***

Misinya sederhana, namun dapat menentukan masa depan. (Y/N) hanya perlu memancing perhatian Beast Titan, sedangkan Levi bergerak maju menghampirinya dalam bayang-bayang asap yang akan ditembak oleh gadis itu.

Dia tak mau mengorbankan nyawa Prajurit kalau ia bisa mengatasi hal ini sendiri. Karena, (Y/N) percaya bahwa dirinya cukup gesit untuk menghindari serangan Monyet sialan itu, dan mungkin juga ada sedikit peluang baginya untuk.. Yah, hidup.

***

"Boncel, kau bisa dengar suaraku, kan?" Kata Levi, suaranya bergetar berupa bisikan. "Ini sudah berakhir, aku sudah membunuh bedebah itu, apakah kau senang? Bukalah matamu, sialan."

Tubuh sang Komandan berhenti mengejang. Kedua bola matanya kembali ke posisi normal, terpaku pada Levi, di ambang kehidupannya. "Aku tak mau mati."

Pandangan Levi mengabur; ladang tempur itu seakan oleng dan berayun. Tidak, pikirnya. Jangan (Y/N). Jangan gadis ini. Siapa pun asalkan bukan (Y/N).

"Aku takut." Tubuhnya terkulai, namun Levi masih memiliki cukup tenaga untuk menahannya. "Levi, katakan sesuatu." Dia terbatuk kesakitan, memuncratkan darah.

"Kau akan hidup." Bisik Levi, memeluk tubuh malang itu. "Hanji dan yang lainnya sedang dalam perjalanan. Bisakah kau tunggu sebentar saja-"

"Apa aku akan mati?" (Y/N) menyembur tangisan.

"Kau kuat, bertahanlah sedikit lagi, Boncel."

Kedua matanya menutup, mulutnya menghembuskan nafas panjang. "Aku sudah berjanji padanya kalau aku akan pulang."

"Tentu saja kita akan pulang. Tepatilah janjimu dan jangan kecewakan Erwin."

(Y/N) tak lagi menyahut, hanya mengangguk, kedua matanya terpaku pada langit biru yang jernih di atasnya, merenungkan apakah di hembusan nafas berikutnya akan menjadi nafas terakhirnya? Betapapun mengerikan kejadian yang mereka lalui hari ini, ia tetap berharap untuk hidupnya. Untuk hari esok.

"Hey." Levi mengguncang tubuhnya, merasa lega saat mendapati bola mata gadis itu masih dapat melirik.

Selama beberapa detik, mereka merasa seolah dunia membeku. Kebisuan memayungi mereka, dikala para Prajurit menjerit, menghambur berlarian menyusul sang Komandan yang terkapar lemah.

"Aku tak percaya aku akan menjadi bagian dari sejarah." Gadis itu tertawa disela-sela batuknya. "Sekarang, semua akan baik-baik saja untuk beberapa waktu."

"Ya, semua akan baik-baik saja. Jadi, diamlah dan jangan banyak bicara." Levi terbawa suasana, mengecup keningnya, air mata tertumpah dari sela-sela matanya saat gadis itu mulai terlelap.

Perhatiannya berpusat pada wajah gadis itu. Meskipun tampak pucat, dia terlihat sangat manis. Lebih dari manis- Cantik. Tubuhnya mungil, tapi dia mampu menanggung beban yang sangat berat tanpa ragu. Hatinya merasa nyeri karena memikirkan hal seperti itu terhadap seorang perempuan yang.. Bukan miliknya.

"Empat belas tahun yang lalu kau datang menyelamatkanku dari rasa duka." Lirihnya, tersenyum. "Empat belas tahun kemudian kau kembali datang untuk menyelamatkan seluruh umat manusia dari kepunahan. Terima kasih, Komandan boncel."

***

Aku tahu kau pernah merasakan apa yang kurasakan seperti saat ini terhadapmu. Namun aku.. Brengsek. Jadi, maafkan aku atas itu, dan aku amat sangat berterima kasih atas perasaan tulusmu di masa lalu.

Kini perasaan itu jelas sepenuhnya dimiliki orang lain yang sangat menghargaimu. Erwin. Aku mempercayakan tentangmu padanya. Jadi berbahagialah, tetaplah hidup.

Aku akan mengingatmu, (Y/N).

Sebaik-baik mungkin.

I'll Remember You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang