Sudah beberapa hari ini Erwin dan Hanji bertukar pikiran, menumpas tentang sosok dibalik Raksasa Wanita yang membunuh banyak prajurit Pasukan Pengintai.
Sudah hari keempat sejak Ekspedisi yang penuh duka, namun pikiran semua orang yang terlibat dalam penyelidikan itu seakan buntu. Tak ada pencerahan, atau sebuah masukan masuk akal.
Ditengah-tengah kesengitan itu, Eren, Levi dan (Y/N) menyempatkan menyeduh teh untuk merenggangkan ketegangan di tempat perundingan itu. Menikmati hari-hari yang mulai terasa tenang. Sedangkan Erwin entah kemana, sudah lima belas menit mereka menantinya.
"Lama sekali, sih." Levi mendecak. "Orang bodoh itu membuatku menunggu sangat lama. Seharusnya ia memposisikan diri jadi orang yang menunggunya. Sial."
Eren tersentak. "Kau bawel juga, ya, Kapten Levi." Ia tertawa.
"Dia memang bawel. Kalau sedang seperti ini, lebih baik abaikan saja dia, Eren." (Y/N) melontarkan tatapan angkuh, kakinya berkeliling ruangan.
"Berisik, Boncel." Ia mengedikkan bahu. "Mungkin Erwin sedang buang air, namun tak kunjung keluar."
"Bodoh, nyari mati?" Gerutu (Y/N). "Tarik kata-katamu!"
Melihat sisi berbeda dari dua orang mengerikan itu membuat Eren tertawa geli. Seperti tidak menyangka mereka bisa bergurau layaknya manusia normal.
Seketika saat mata Eren menyapa gadis itu, dia terhening, menggelap, merasa bersalah atas kematian rekan-rekannya. "Kapten, maaf." Perkataan itu membuat (Y/N) menghentikan langkahnya.
"Oi! Untuk apa?"
"Kalau aku tidak memilih pilihan yang salah saat itu.. Hal ini tidak akan terjadi. Tidak akan ada yang terluka." Eren membungkuk di hadapan (Y/N). "Maafkan aku, (Y/N)."
"E-Eren, jangan begitu, dong." Gadis itu merengek. "Levi kan sudah bilang padamu. Tidak ada yang bisa mengetahuinya sebelum dicoba. Tak apa." Suasana seketika hening. Udara di ruangan itu terasa tersedot keluar.
Beruntung, tak lama kemudian Erwin tiba bersama Armin dan Mikasa. Wajah mereka antusias, seperti baru saja mendapatkan harta karun tersembunyi.
"Maaf membuat kalian menunggu lama." Erwin menarik nafas. "Kami menemukan petunjuk."
"Armin? Mikasa?"
"Apa itu?" Tanya Levi.
"Biasanya ini adalah tugas dari Kepolisian di Distrik Stohess. Namun, kali ini kami diperintahkan untuk menangkap Titan Wanita itu." Erwin menyilangkan kedua tangannya, matanya mendarat pada sang kekasih yang tengah sibuk dengan teh panasnya. "Besok lusa kita akan melakukannya, pada hari itu aku dan Eren akan dipanggil ke Ibu Kota Kerajaan."
(Y/N) tersedak dengan perkataannya. "Apa?"
"Oi Boncel. Tehmu tumpah, tuh." Levi menawarkan sebuah sapu tangan dari sakunya.
"Pakai punyaku saja," Erwin duduk di sisi (Y/N), tatapan matanya mengancam. "Makanya hati-hati."
"Lalu, Erwin, pembahasannya." Mikasa memecah obrolan kekanakkan itu.
"Ya. Kita tak bisa mengelak kalau kita harus menyerahkan Eren. Jika tidak, kita akan semakin kesulitan untuk memancing para dalang ini." Jelasnya, kembali fokus pada realita.
"Lalu, apa yang kau pertaruhkan?" Tanya Levi.
"Segalanya." Erwin mengangguk. "Kita akan mempertaruhkan segalanya, karena musuh juga telah melakukannya. Ini satu-satunya kesempatan kita. Jika Eren berhasil memancing para dalang ini ke bawah tanah dalam bentuk manusia, kita tidak perlu dipanggil dan mereka akan lebih fokus menjaga keamanan dinding."
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Remember You
Romansa(16+) Kehadiran seorang gadis bernama (Y/N) dalam Pasukan Pengintai menyita perhatian Levi Ackerman. Anak baru itu mengingatkan dirinya akan sesosok gadis yang "menyelamatkannya" di masa lalu. Begitu pula dengan (Y/N) yang menganggap Levi sebagai Ci...