"Pek! Topek!" aku mendengar suara ibuku yang sudah menggelegar pagi-pagi. Namaku sebenarnya Taufik, Taufik Adi Widayat. Namun entah mengapa orang-orang gemar sekali memanggilku Topek, pak pek pak pek, memangnya aku tempek? Kan kesannya jadi jorok. "Tangi pora awakmu? Opo perlu tak guyur banyu es?" sikak ah, iseh esuk padahal. Sikak adalah kata umpatan di daerah sini. Jangan diucapkan ke teman Jawa Tengahmu. Sedangkan apa yang diucapkan ibuku sambil ndoag-ndoag tadi adalah agar aku segera bangun kalau tidak, aku bakal disiram air es. Ndoag-ndoag itu berkoar-koar namun sedikit kasar.
"Iya Bu." Aku ngulet sebentar, lalu keluar kamar. "Masih jam 3 lho, Bu."
"Rasah protes, nanti kalau ibuk ora nggugah, trus telat enggak ikut sahur, ibuk lagi kan yang kamu salahin!" Ibuku sedang memasak di dapur. Ada dua wajan di atas kompor gas double stove kami, satu wajan diisi tempe goreng, satunya lagi untuk menggoreng bader. Bader itu sejenis ikan tawar, mirip ikan bawal, hanya lebih banyak dagingnya. Bunyi minyak mendidih yang sedang berusaha membuat tempe dan bader itu matang, menemani obrolan kami. Bader itu hasil panen di sawah yang bapak garap. Sebagian dijual dan sisanya kita makan. "Ndang mandi biar seger, njuk sahur!"
Dengan mecucu, aku menuju kamar mandi. Berak lalu mandi, ke kamar, memakai celana kolor pendek dan kaos putih. Setelahnya aku menuju ruang makan. Ibu sudah menyiapkan nasi anget, bader goreng, sayur sop dengan tempe goreng bawang garam. Semuanya disajikan secara menggoda di atas meja makan. "Uang saku, Pak?" todongku begitu aku duduk.
"Anakmu ini lho, Bu. Baru duduk wes nagih duit. Sahur dulu! Nanti kita ke masjid, subuhan."
"Anakmu juga, Pak. Lha bikinnya bareng-bareng, memangnya aku membelah diri?" sahut Ibu sambil mengambilkan bapak nasi, lalu melakukan hal yang sama untukku. "Mbak-mbakmu nanti pulang, kamu ndak usah mampir-mampir, langsung pulang!" lanjut ibuku. Aku tidak menjawab, hanya mengangguk saja. Di rumah, kami memang bilingual, jawa campur bahasa Indonesia. Itu karena bapak berasal dari Semarang kota, terbiasa memakai bahasa Indonesia dengan keluarganya. Eh, ketemu ibu di kota kecil ini saat sedang prakerin di pabrik kayu. Akhirnya bapak memilih tinggal di sini, karena ibu anak satu-satunya, dan berat meninggalkan sawah, ladang, juga ternak. Bapak bahkan akhirnya menggarap sawah peninggalan orang tua ibu. Dibantu beberapa orang. Berkat bapak, panen kami semakin banyak, bapak bahkan melebarkan sawah kami dengan membeli beberapa sawah tetangga yang berada di sekitar sawah kami. Beberapa di tanami padi, biasanya akan dibarengi dengan ternak ikan bader. Lalu sisanya ditanami apa yang sedang musim. Bisa jagung, bisa kacang tanah, bisa tembakau.
Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, dua kakakku perempuan. Kakak pertamaku, Kartika, berusia 27 tahun, tinggal di Jakarta, ikut suaminya, yang mana dulu adalah bosnya. Sudah dikarunia 1 anak laki-laki. Kakak keduaku, Fitriana, 24 tahun, ikut kerja di tempat Mbak Kartika setelah wisuda. Nepotisme ya sebenarnya kalau dipikir-pikir. Aku sendiri masih 17 tahun, jarak usiaku dan mbak-mbakku memang jauh. Dikarenakan ibu merasa sudah cukup dengan dua anak, namun bapak merengek karena ingin anak laki-laki. Dan setelah berusaha merajuk, akhirnya ibuku setuju untuk menambah momongan. Dan beneran lho, dikasih anak laki-laki, ya aku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAUFIK THE SERIES I : MAS SATRIA (Tamat)
Teen FictionTaufik adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Lebaran kali ini, dua kakak perempuannya pulang dari perantauan. Tidak dia sangka, salah satu kakak perempuannya membawa teman laki-laki yang langsung mencuri perhatiannya. Lelaki itu bernama Satria. Apa...