Sekawan : Malam Takbir

3.7K 183 6
                                    

Aku sudah memakai celana panjang, kaos yang juga berlengan panjang dan jaket ketika Jupri, Damar dan Agung sedang menungguku di ruang tamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku sudah memakai celana panjang, kaos yang juga berlengan panjang dan jaket ketika Jupri, Damar dan Agung sedang menungguku di ruang tamu. Mereka bertiga sedang mengobrol bersama Mas Heru dan mengajak Arion bercanda. Mas Satria juga di sana, tampak ganteng dengan kemeja pendek dan celana jeans abu-abunya. Dia jadi ikut aku ke alun-alun. Aku dan Mas Satria berpamitan sebelum kami pergi. Tadi Mas Heru juga tampak ingin ikut tetapi dilarang istrinya.

Kami menuju balai dusun terlebih dahulu, di sana kami di data, agar nanti ketahuan kalau kurang atau ada yang hilang. Mencegah jika ada yang tertinggal di kota saat balik. Transportasi di sini sangat sulit jika sudah menjelang malam. Kami berangkat menggunakan mobil pick up, aku duduk bersandar di pembatas antara bagian pick up dengan ruang sopir. Mas Satria di sampingku, tampak dia enjoy dengan suasana saat ini. Di tengah pick up, ada gendang besar yang sesekali ditabuh. Gema kebesaran nama Tuhan digaungkan berkali-kali, bersahut-sahutan. Malam takbir adalah satu-satunya malam yang membuat kota ini hidup sampai pagi. Bahkan hingga desa-desanya, dusun-dusunnya dan aku menyukainya.

Aku izin ke sopir untuk berpisah sesampainya kami di kota, sementara teman-temanku lanjut berkeliling. Rencananya, kami nanti akan bertemu di alun-alun, saat kembang api dinyalakan. Aku mengajak Mas Satria ke pasar malam, yang digelar di lapangan sebelah Bank BCA. Aku membayar dua karcis masuk, secara naluri menarik tangan Mas Satria agar tidak terpisah. Untungnya, Mas Satria tidak protes.

"Itu apa, Fik?"

"Gulali, Mas," jawabku. Pasar malam ini dipenuhi oleh orang jualan baju, beberapa jajanan pasar dan ada juga beberapa wahana sederhana. "Mau? Dari gula jawa itu," tambahku. Mas Satria mengangguk. Gulali ini seperti yang aku bilang tadi, bahan dasarnya adalah gula jawa, lalu ada kacang di dalamnya. Manis dan enak. Seperti permen. Kami menaiki beberapa wahana bersama, ngobrol ngalur ngidul, sesekali mengabadikan momen ini lewat foto. Ingin rasanya aku meminta Tuhan untuk memberhentikan waktu, tepat saat ini, agar aku bisa menikmati momen ini lebih lama lagi bersama Mas Satria. Namun sudahlah, aku akan merekam kenangan ini di otakku, agar suatu saat nanti jika Mas Satria tidak ditakdirkan bersamaku, kenangan ini bisa aku putar kembali.

Alun-alun sudah ramai saat kami ke sana. Aku harus membelah banyak lautan manusia agar bisa berkumpul bersama dengan rombongan kami kembali. Banyak yang bilang bahwa kembang api tidak sejalan dengan takbiran karena merupakan budaya agama lain. Namun bagaimana ya, di sini, di kota ini, kembang api identik dengan perayaan. Hari baik yang perlu dirayakan. Pelantikan bupati baru, kami menyalakan kembang api. Ulang tahun kabupaten, kami menyalakan kembang api. Tahun baru, kembang api. Malam takbir pun sama. Semuanya adalah hari baik yang patut dirayakan.

"Kedinginan, Mas?" aku memberikan jaketku untuk Mas Satria pakai. Aku memang sengaja memakai baju lengan panjang di double dengan jaket saat tadi melihat Mas Satria hanya memakai kemeja lengan pendek. Malam bisa begitu dingin di kota ini. Dan tebakanku benar kan? Mas Satria kedinginan?

Mas Satria tersenyum. "Makasih."

Sorak kami bergemuruh ketika semua lampu di sekitar alun-alun dimatikan. Tidak peduli dari desa mana kami berasal, kami adalah warga kota yang sama. Kami berbagi tawa, bahkan ketika kami tidak saling kenal satu dengan yang lain. Tepuk tangan meriah terdengar bebarengan dengan diluncurkannya kembang api pertama. Diiringi kebesaran nama Tuhan yang digaungkan bersahut-sahutan.

TAUFIK THE SERIES I : MAS SATRIA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang