Aku pulang ke rumah hanya untuk berganti pakaian, karena belum ada lima menit, Jupri sudah memanggilku. Aku mengganti sarungku dengan celana jeans, dan memakai kaos baruku. Sebagai anggota karang taruna, aku diminta untuk menyiapkan acara menaikkan balon. Acara penerbangan balon ini diadakan di lapangan dusun, dan biasanya dihadiri oleh warga kampung sini, bahkan kadang warga kampung sebelah juga ikut turut menonton.Aku berpamitan kepada kedua orang tuaku lalu mengikuti Jupri yang sudah berjalan terlebih dahulu. Suasana lebaran di kampungku selalu ramai. Ramai dengan tamu dari luar kota, ramai orang dewasa yang pulang kampung menengok orang tuanya setelah merantau, ramai anak-anak yang heboh membicarakan rumah mana saja yang biasanya memberi mereka uang saku. Aku tersenyum, ikut menikmati keributan yang hangat ini. Terjadi hanya setahun sekali.
Balon dari balai dusun sudah dipindahkan ke lapangan, diletakkan di setiap penjuru lapangan. Empat balon masing-masing di sudut, dengan masing-masing dua orang bertugas untuk menjaga dan menerbangkannya. Aku bersama Jupri berada di salah satu penjuru tersebut. Memegang satu balon berwarna hijau kuning. Balon ini terbuat dari kertas wajik. Kertas yang biasanya dipakai untuk membungkus jenang wajik. Sementara itu, 1 petasan seukuran drum, diletakkan di tengah lapangan. Sumbunya cukup panjang agar siapapun nanti yang akan menyalakan sumbu petasan tersebut punya cukup waktu untuk menepi. Biasanya Pak Mardikun, RW kampung saat ini.
Saat Mas Adi, ketua tarang taruna memberi aba-aba untuk segera menyalakan bola api yang terletak di dasar balon, Jupri justru minta ijin untuk ke toilet, karena perutnya mendadak sakit. Sepertinya salah makan saat halal bi halal tadi. Aku yang sendirian, memberi kode ke Mas Adi untuk menunggu sebentar hingga Jupri kembali.
"Balonnya besar ya," aku mengenali suara itu. Bukan Jupri, tetapi Mas Satria. Aku melihat dia sudah mengganti sarung dengan celana jeans, sementara untuk atasan masih baju koko yang tadi dia pakai untuk halal bi halal. "Bisa naik gak tuh?"
"Bisalah, Mas!" aku menoleh ke tepi lapangan dan mendapati keluargaku juga sudah berada di sana. Bapakku berbaur dengan bapak-bapak, sementara ibuku berbaur dengan ibu-ibu yang lain, bertukar gosip. Mas Heru membopong Arion di pundaknya agar anak kecil itu bisa melihat dengan lebih jelas. Mbak Kartika justru sibuk sendiri mendokumentasikan penerbangan balon ini dengan smartphone-nya. Aku tidak melihat Mbak Fitri, mungkin jaga rumah. "Mas Satria, bantuin pegang," kataku. Mas Satria memegang kayu yang merupakan dasar dari balon. Aku memberi kode ke Mas Adi bahwa aku siap, kemudian aku menyalakan bola api, untuk mengisi balon yang masih kempes itu dengan udara berasap hitam dari bola api yang menyala. "Panas ya, Mas?" tanyaku memastikan.
"Enggak," jawab Mas Satria manis. Kami menunggu balon tersebut kenyang dengan udara panas dari bara api sebelum melepaskannya pelan-pelan. Empat balon tersebut diterbangkan secara bersamaan. Tepuk tangan riuh warga segera terdengar begitu balon tersebut berhasil terbang. Termasuk Mas Heru yang heboh mendekat agar Arion bisa mengamati dari jarak yang aman namun masih jelas. Mbak Kartika sepertinya sudah lupa kalau dirinya telah mempunyai anak dan suami. Sibuk lari sana-sini merekam semua kegiatan. Antusias sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAUFIK THE SERIES I : MAS SATRIA (Tamat)
Ficção AdolescenteTaufik adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Lebaran kali ini, dua kakak perempuannya pulang dari perantauan. Tidak dia sangka, salah satu kakak perempuannya membawa teman laki-laki yang langsung mencuri perhatiannya. Lelaki itu bernama Satria. Apa...