Kaleh : Pelukan Hangat

5.2K 218 19
                                    

Malam ini menu berbuka kami lebih meriah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam ini menu berbuka kami lebih meriah. Mbak Fitriana dan Mbak Kartika tadi yang membantu ibu memasak. Ada oseng-oseng kacang panjang dengan sedikit tetelan. Tahu kan tetelan? Itu daging sapi bagian kulit. Lalu ayam kecap. Tahu isi. Ditambah kolak pisang. Mantap benar. Kami para laki-laki, bapak, Mas Heru, Mas Satria, aku dan Arion sholat maghrib di masjid terlebih dahulu sebelum berbuka. Aku baru sempat makan kolak tadi sebelum berangkat ke masjid. Sedangkan Ibu dan dua anak perempuannya di rumah, bergosip sepertinya.

"Nanti rencana mau kuliah dimana, Fik?" tanya Mas Heru sambil menggandeng tangan Arion. Anak itu beberapa kali ingin melepaskan diri dari genggaman tangan ayahnya. Agaknya Arion ingin lari-larian. Anak kecil kan memang biasanya berbuat sesuatu yang tidak bisa dinalar. Tidak bisa disuruh, sit! Atau down, atau stay.

"Belum kepikiran, Mas," jawabku jujur. "Ini juga baru aja naik kelas kok," lanjutku sambil terkekeh.

"Arion, diem!" Mas Heru berkata ketika Arion merengek meminta jajan. Di depan masjid memang banyak jajanan. Dari batagor, siomay juga beberapa gorengan. "Di Jakarta aja, Fik. Bisa tinggal bareng Mas nanti," kata Mas Heru setelah berhasil menjinakkan Arion yang merengek dan menggendongnya di belakang.

"Iya Mas, gampang nanti bisa diatur," jawabku.

Aku melirik Mas Satria yang sedari tadi diam. Agaknya masih canggung karena kejadian tadi sore. Padahal aku sudah biasa saja. Ya memang, tubuh bugilnya Mas Satria masih terbayang, namun aku sedikit bisa menutupi kecanggunganku dan mencoba bersikap biasa. Sesudah sholat maghrib, bapak memperkenalkan Mas Heru dan Mas Satria ke beberapa tetangga. Bapak juga lapor ke Pak RT bahwa ada orang selain keluarga yang akan menginap di rumah kami, yaitu Mas Satria. Hal ini lumrah dilakukan untuk menghindari fitnah dan omongan tetangga. Dighibahin sih sudah pasti. Hal yang tidak bisa kami hindari ya kan? Karena toh kami memang tidak bisa mengatur omongan tetangga. Omongan tetangga ibarat lada. Kalau sedikit kurang berasa di lidah, kalau kebanyakkan ya sakit perut.

"Sudah lapor Pak Burhan, Pak?" tanya ibu begitu kami pulang. Pak Burhan adalah Pak RT kami. Bapak mengangguk. Lalu sama-sama kami menuju ruang makan. Mbak Kartika langung mengambilkan Mas Heru piring, menyiduk nasi, dan beberapa lauk. Sepertinya Mbak Kartika sudah hafal dengan takaran makanannya Mas Heru. Sementara Arion dipangku ibu yang memanjakan cucu satu-satunya itu dengan sangat. Mas Satria yang duduk disebelahku, masih tampak malu-malu saat mengambil nasi.

"Kenyang segitu Nak Satria?" tanya ibuku. Mas Satria hanya mengangguk sambil mesam-mesem. "Lihat itu Topek, nasinya segunung, lauknya kayak mau tumpah," lanjut ibuku lagi.

"Aku masih masa pertumbuhan, Bu!" belaku. Aku membela diri sendiri karena pasti tidak akan ada yang membelaku.

"Halah!" Mbak Kartika ikut-ikutan. "Awas lho begah. Nanti masih isya sama teraweh, kan?"

"Udah biasa adekmu segitu, Kar," timpal ibuku. "Lha mbok kamu pikir, panen beras kita separonya masuk ke perutnya siapa?"

Aku tidak serakus itu! Masak separo hasil panen masuk perutku. Ya dikira perutku lumbung desa kali. Namun walaupun dibully ibu dan Mbak Kartika, aku tetap bahagia. Biasanya berbuka atau makan malam hanya bareng ibu dan bapak saja. Hari ini rame. Senang rasanya.

TAUFIK THE SERIES I : MAS SATRIA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang