Rolas : Gawat

2.4K 149 9
                                    

Baik aku dan Mas Satria, kami berdua tidak siap dengan kedatangan Mbak Fitri yang tiba-tiba, apalagi menghadapi kemarahannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Baik aku dan Mas Satria, kami berdua tidak siap dengan kedatangan Mbak Fitri yang tiba-tiba, apalagi menghadapi kemarahannya. Dia memukuliku dan Mas Satria secara sembarang. Beberapa kali kena wajahku, beberapa kali kena wajah Mas Satria. Leganya, kami berdua masih memakai baju lengkap. Akan tambah canggung dan kacau, jika Mbak Fitri menemukan kami sudah tidak berbusana. Menghadapi kemarahan Mbak Fitri kami hanya bisa menghalau serangan-serangan brutal Mbak Fitri dengan tangan kami, sebagai pertahanan diri. Aku dan Mas Satria tidak ada niat untuk menyerang balik, karena kami berdua merasa bersalah.

"Kamu tuh tau aku suka sama Satria!" Mbak Fitri menjerit histeris. Air matanya turun tidak terkendali. Ingus pun mulai keluar dari lubang hidungnya. Bukan tipikal menangis yang tetap cantik ala drama korea, bukan juga tangis anti badai, dimana maskara dan riasan tetap paripurna ala sinetron Indonesia. Namun tangis jelek ala bayi yang sedang gambreng. "Kamu kok jahat! Tega!" Bahkan Mbak Fitri sudah tidak memanggil Mas Satria dengan sebutan Mas lagi.

"Fit, tenang dulu ya?"

"Kamu juga, Sat!" Mas Satria yang berusaha menjadi penengah malah kena tampar sekarang. "Taufik itu adikku! Adikku!" Mas Satria memaksa Mbak Fitri untuk masuk ke dalam pelukannya. Walaupun masih memukul, namun pukulannya sudah tidak sekuat tadi. Tangisannya pun sudah tidak sekencang tadi. Malah aku merasakan betapa Mbak Fitri tertekan dengan kondisi saat ini. "Kalian berdua jahat!" kata-kata itu masih terlontar di tengah isakan Mbak Fitri yang sudah semakin mereda.

Aku ingin ikut menenangkan Mbak Fitri dengan bergabung bersama Mas Satria untuk memeluknya. Namun aku mengurungkan niatku. Bagaimana kalau Mbak Fitri malah tambah mengamuk? Aku hanya bisa terdiam di pojokan ranjang, tidak tahu harus berbuat apa. Dan suasana canggung ini berlangsung selama hampir setengah jam. Situasi kaku ini berakhir ketika Mbak Fitri melepaskan pelukan Mas Satria dan keluar dari kamarku begitu saja. Ingus dan air matanya masih kemana-mana.

Aku melirik Mas Satria yang bangkit berdiri lalu melepas kaos yang sudah penuh dengan ingus dan air mata bekas Mbak Fitri. Atmosfer di antara kami berdua berubah menjadi tidak enak dan janggal secara tiba-tiba. Padahal sebentar lagi kami akan berpisah, seharusnya kami menggunakan waktu yang masih tersisa untuk menyimpan kenangan manis. Malah masalah muncul. Aku melirik Mas Satria yang keluar dari kamar. Aku menghela nafas panjang, lalu masuk ke dalam selimut. Ketika Mas Satria masuk lagi ke dalam kamar, aku mengintipnya lewat sela-sela selimut. Seperti biasa Mas Satria melakukan skincare routine malamnya. Setelah selesai, dia mengambil tempat di sampingku, lalu tanpa memelukku, Mas Satria tidur membelakangiku.

Sudahlah. Mungkin ini yang terbaik. Jadi aku tidak perlu ke Jakarta liburan semester depan. Mungkin aku harus move on. Toh, aku masih punya banyak waktu. Jika, aku bilang, hanya jika, ini akan menjadi patah hati pertamaku, maka aku bisa belajar bahwa jangan sekali-kali jatuh cinta dengan pria yang juga ditaksir oleh mbakku sendiri. Tidak ada enaknya.

Ketika aku mulai memejamkan mataku, aku justru tidak bisa tidur. Pikiranku malah berkeliaran kemana-mana. Salah satunya, bagaimana jika Mbak Fitri mengadu ke bapak ibu? Apakah aku akan di usir? Jika aku di usir, aku harus bagaimana? Sekolahku bagaimana? Mas Heru dan Mbak Kartika apakah mau menampungku? Atau mereka juga akan menyudutkan aku? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mungkin aku harus coming out dulu ke ibu dan bapak sebelum Mbak Fitri yang mengadu. Tapi . . . . apakah aku sudah siap?

TAUFIK THE SERIES I : MAS SATRIA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang