Siang ini aku menemani Mas Satria ke pasar, berdua kami menggunakan motor, motorku tentu saja. Di belakang, Mas Satria sesekali memegang pundakku. Beberapa kali helm kami berbentur saat Mas Satria melongokkan kepalanya ke samping dan menanyakan sesuatu kepadaku. Misal, gedung kelurahan yang baru saja selesai dibangun, nampak bagus di tengah-tengah rumah yang biasa saja. Atau iseng meletakkan sikunya di atas bahuku, sehingga kedua lengannya menjuntai ke depan. Jika keduanya bertaut, maka Mas Satria seakan memeluk leherku. Dan oleh karena itu, jantungku benar-benar bekerja ekstra selama perjalanan dari rumah menuju pasar. Ditambah wangi deodorant dan keringatnya yang sesekali mampir ke indra penciumanku. Mabuk! Penisku ereksi snut-snutan di dalam celana jeansku.
"Rame ya?" tanya Mas Satria ketika aku memarkirkan motorku di depan indomaret. Dia sudah turun dari motor dan tengah melepas helmnya. Indomaret ini dekat pasar, sampingnya persis. Kalau parkir di sini gratis dan aman. Asal nanti pas mau pulang pura-pura saja beli sesuatu di indomaretnya.
"Namanya juga hampir lebaran, Mas," jawabku. "Pada beli baju semua. Rata-rata orang kampung mah beli baju baru pas lebaran aja, Mas."
"Serius?" aku mengangguk.
Mas Satria mengikutiku dengan hati-hati. Suasana pasar memang ramai, ubel-ubelan. Namun begitu, tidak nampak satupun wajah sedih di sana. Mereka letih, tetapi bahagia. Perbincangan tentang lebaran terdengar di sana-sini. Penjual ayam sudah berpindah dari dalam ruko, menjajakannya di pinggir jalan. Ayam hidup lho ini. Baunya ampun-ampunan. Aku langsung membawa Mas Satria ke toko langgananku. Aku sudah wa-an dengan pemiliknya, karena saking seringnya aku beli di sini. Aku memintanya untuk menyimpankan baju dan celana bagus yang baru datang.
"Wah, Pek, awan tenan!" Nanto, pemilik toko langsung menyapaku. Suasana toko ramai, para pegawainya kulihat sibuk semua melayani pembeli. Oh iya, tadi itu Nanto bertanya kenapa aku datangnya siang banget.
"Bantu bapak dulu tadi, Pak." Aku menunjuk Mas Satria yang sedang celingukkan, "ini Mas Satria, dari Jakarta, calonnya Mbak Fitri," kataku memperkenalkan Mas Satria. Sengaja dengan kalimat memancing, karena aku ingin tahu reaksi dan jawaban Mas Satria.
Yang alih-alih, Mas Satria sama sekali tidak memakan pancinganku. Dia memperkenalkan diri tanpa menggubris omonganku tadi tentang dirinya sebagai calonnya Mbak Fitri. Aku dan Mas Satria dibawa masuk oleh Nanto ke belakang. Ruko ini dua tingkat, dan lantai dua dibuat sebagai rumah tinggal.
"Iki wes tak simpenke karepmu!" Aku hanya nyengir saat Nanto berkata dia sudah menyimpankan baju dan celana yang kira-kira aku suka. Nanto lalu menoleh ke arah Mas Satria, "Topek ini sudah langganan di sini, Mas. Sebulan sekali pasti kemari." Aku tertawa saja sambil memilih kaos dan kemeja yang tergantung. Mas Satria juga melakukan hal yang sama denganku. Apalagi ukuran tubuh kami sama, jadi tidak akan jadi masalah. Mas Satria hanya sedikit lebih berat beberapa kilo, sepertinya. Kalau tinggi, kami sama.
Aku pulang dengan membawa 1 kaos, 1 kemeja, 2 celana jeans model pensil. Itu lho yang runcing ke bawah. Mas Satria sendiri membeli tiga kemeja, satu celana chino, satu celana jeans. Dia tadi sempat takjub dengan harganya yang murah. Eh, baju-bajuku dibayarin sama Mas Satria lho. Padahal aku sudah diberi uang oleh bapak tadi untuk beli baju baru. Lumayan bisa aku tabung.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAUFIK THE SERIES I : MAS SATRIA (Tamat)
Teen FictionTaufik adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Lebaran kali ini, dua kakak perempuannya pulang dari perantauan. Tidak dia sangka, salah satu kakak perempuannya membawa teman laki-laki yang langsung mencuri perhatiannya. Lelaki itu bernama Satria. Apa...