"Jangan dekat-dekat, Fik! Nanti tertular!" aku sedang duduk di teras bersama Mas Satria, Mas Heru dan Arion saat Mbak Fitri berkata kasar sambil lalu tersebut. Aku melirik Mas Satria yang kebetulan memang duduk dekat sekali denganku. Lengan kami bahkan saling bersentuhan. Aku tidak menyangka hanya karena ditolak, sikap Mbak Fitri jadi berubah begitu. Yang tadinya perhatian dan peduli dengan Mas Satria berganti menjadi memojokkannya. Aku jadi ngeri sendiri jika suatu hari nanti aku harus coming out. Apa rekasi keluargaku juga akan sama dengan reaksi Mbak Fitri? Merendahkan? Mas Heru saja sampai melongo mendengar kata-kata yang diucapkan dengan nada ketus tadi.
Tanpa sepengetahuan Mbak Fitri aku menggenggam tangan Mas Satria. Tinggal beberapa hari lagi sebelum Mas Satria pulang ke Jakarta. Aku harus bisa menentukan pilihanku. Mengambil keputusan. Untungnya melihat ulah Arion yang sedang mengejar ayam-ayam tetangga yang kebetulan tanpa sengaja masuk ke halaman rumah kami cukup mengalihkan perhatian. Mbak Fitri yang baru saja pulang setelah membeli sayur dari abang-abang gerobak keliling, masuk lagi dan melirik judes ke arah Mas Satria. Kok aku menjadi sebal ke kakak perempuanku sendiri ya? Pengen tak hih!
Menjelang sore, aku mengajak Mas Satria ke ladang. Selain karena aku ingin berduaan saja dengan Mas Satria, aku juga ingin menjauhkan Mas Satria dari Mbak Fitri yang kelakuannya menjadi sangat menyebalkan. Seperti tadi siang, saat Mas Satria dan aku tengah nonton tv, masak Mbak Fitri pura-pura tidak sengaja menjatuhkan teh? Tepat ke pahanya Mas Satria. Untung tehnya tidak terlalu panas. Belum lagi kata-kata sindirannya. Aku saja tidak tahan, apalagi Mas Satria? Oleh karena itu, aku ajak Mas Satria ke ladang. Agar sedikit tenang. Aku baca dimana gitu, kalau lihat yang hijau-hijau, bisa membantu untuk rileks. Di sawah kan, adanya hijau-hijau semua. Cerdas kan? Jelas, kan aku selalu ranking satu.
"Maafin Mbak Fitri ya, Mas?" kataku membuka percakapan. Kami berdua berada di dalam gubuk. Di depan kami terdapat tanaman padi yang sudah menguning, sedangkan di belakang kami ada ladang yang ditanami cengkeh. Iya, padinya sudah tidak hijau lagi. Tetapi kami disambut semilir udara sejuk yang menerpa wajah kami tanpa henti. Memang ini itu spot yang enak sekali untuk bersantai. Ditambah secangkir kopi apa tidak nikmat?
Mas Satria membuka plastik hitam yang tadi dikasih ibuku. Isinya ternyata gorengan, dia menyodorkan plastik berisi gorengan tersebut kepadaku. Aku mengambil tempe tepung 1 dengan dua biji cabai rawit. "Nggak papa. Akunya saja yang nggak berpikir panjang," Mas Satria menggigit bakwan. "Aku pikir Fitri bisa terima keadaanku karena kita berteman cukup lama." Ah, wajah Mas Satria nelangsa banget. Pengen meluk. "Ternyata aku salah kira."
Mulutku akan mengeluarkan kata-kata seperti, 'mungkin Mbak Fitri membutuhkan waktu'. Untung aku menutup mulutku tepat sebelum kata-kata tersebut meluncur. Iya kalau memang Mbak Fitri butuh waktu, kalau tidak? Kalau memang itu sifat aslinya? Aku tidak mau memberi Mas Satria harapan palsu. Aku memang pernah dekat dengan Mbak Fitri namun itu kan sudah lama. Mbak Fitri pindah ke Jakarta sudah lebih dari 5 tahun. Selama masa tersebut, bisa saja Mbak Fitri berubah, iya kan? Karena pergaulan dan lain sebagainya. Yang bisa aku lakukan, hanya membawa kepala Mas Satria untuk bersandar di bahuku. Memang aku adiknya, tetapi aku tidak tahu sifat asli kakakku seperti apa jika didapkan pada LGBT. Karena selama ini aku tidak pernah menyaksikannya, aku jadi ngeri sendiri jujur. Takut untuk coming out.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAUFIK THE SERIES I : MAS SATRIA (Tamat)
Novela JuvenilTaufik adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Lebaran kali ini, dua kakak perempuannya pulang dari perantauan. Tidak dia sangka, salah satu kakak perempuannya membawa teman laki-laki yang langsung mencuri perhatiannya. Lelaki itu bernama Satria. Apa...