Semua orang langsung menuju ke kamar mereka masing-masing begitu kami tiba di rumah. Udara malam yang begitu dingin, membuatku enggan untuk sekadar cuci muka. Aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku merasakan lelah yang luar biasa hari ini. Tubuhku terasa remuk semua. Aku bahkan malas untuk double check gerbang depan sudah dikunci bapak atau belum. Seharian jalan keliling kampung, lalu malamnya mesti lebaran lagi. Kalau pinjam istilah sebuah brand wafer, capeknya berlapis-lapis.
"Kamu nggak cuci muka, Fik?" aku hanya menjawab dengan geraman pelan. Tidak juga merasa harus memalingkan wajahku. Aku dalam posisi tengkurap. Muka aku benamkan ke dalam empuknya bantal yang terasa seperti surga. "Ganti baju dulu, seenggaknya."
"Males," jawabku singkat. Aku mendengar bunyi berisik, sepertinya Mas Satria sedang melakukan sesuatu. Namun saking capeknya, aku malas untuk mencari tahu dia sedang melakukan apa hingga menimbulkan suara berisik.
Aku merasakan bobot seseorang duduk di kasur. "Sini balik!" aku tidak bergerak. Lalu aku merasakan tangan Mas Satria dengan sedikit tenaga ekstra, membalikkan tubuhku menjadi terlentang, dan Mas Satria langsung memposisikan kepalaku di atas pahanya. Aku melihat Mas Satria sudah mengganti celana jeans dan baju kokonya dengan celana pendek dengan atasan singlet putih. Dari bawah sini, aku bisa melihat rambut ketiaknya. "Kan seharian ini panas-panasan. Wajahnya harus dibersihin, biar nggak jadi jerawat," Mas Satria menjelaskan sambil mengusapkan kapas yang sedikit basah ke seluruh wajahku. Mas Satria melakukannya dengan telaten, lalu dia menunjukkan kapas yang sekarang sudah berubah warna. Tadinya putih kini hitam karena kotoran di wajahku. "Nih lihat, kotor kan?"
"Kan aku engga jerawatan," aku beralasan.
Mas Satria tertawa, "ya karena air di sini bagus. Udaranya pun masih bersih." Mas Satria kemudian mengambil sesuatu, meletakkannya ke dalam telapan tangannya. Kemudian telapak tangan itu mengusap wajahku lembut. Rasanya adem. "Diem dulu, aku lagi pakein mosterizer ini. Jangan gerak." Aku mengamati Mas Satria yang seperti sibuk sendiri. Matanya mengikuti gerak telapak tangannya yang masih mengolesi pelembab secara teliti, lembut, penuh perhatian dan menyeluruh ke wajahku. Sesekali mata kami bertemu dan Mas Satria tersenyum manis. "Nah kan jadi tambah ganteng!" katanya kemudian. Selesai.
Wajahku sudah diolesi pelembab oleh Mas Satria, namun posisi kami belum berubah. Mata kami masih menatap ke dalam manik mata satu sama lain. Hingga Mas Satria menundukkan wajahnya. Awalnya, bibirnya hanya menyentuh bibirku ringan. Sepertinya Mas Satria ingin melihat reaksiku. Apakah aku akan menolak atau menerima. Dan ketika aku diam saja, Mas Satria memberanikan dirinya untuk mempertemukan bibir kami lebih dalam lagi. Lalu aku membalas ciumannya. Lembut. Kami hanya menggunakan bibir kami, tanpa lidah.
Aku mengangkat tangan kananku, merengkuh tengkuk Mas Satria. Untuk membawanya lebih dekat. Merengkuh dahaga penasaran yang selama ini hanya aku imajinasikan di dalam kepalaku. Bagaimana rasa bibir Mas Satria. Aku sedikit merasakan rasa cherry ketika menjilati bibir Mas Satria.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAUFIK THE SERIES I : MAS SATRIA (Tamat)
Teen FictionTaufik adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Lebaran kali ini, dua kakak perempuannya pulang dari perantauan. Tidak dia sangka, salah satu kakak perempuannya membawa teman laki-laki yang langsung mencuri perhatiannya. Lelaki itu bernama Satria. Apa...