Pitu : Air Panas Derekan

3.4K 177 14
                                    

Sekitar pukul empat sore, setelah kami berkeliling sebentar ke sekitaran rumah Mbah Kakung dan Mbah Putri, sempat badhan ke beberapa tetangga yang masih ada ikatan saudara juga, kami memutuskan untuk pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekitar pukul empat sore, setelah kami berkeliling sebentar ke sekitaran rumah Mbah Kakung dan Mbah Putri, sempat badhan ke beberapa tetangga yang masih ada ikatan saudara juga, kami memutuskan untuk pulang. Saat badhan tadi, rombongan kami sudah mirip orang mau mengajak tawuran. Lha keluargaku ditambah keluarga Paklek Pranoto. Bahkan ada satu rumah yang ruang tamunya tidak memuat kami semua. Tetapi ya inilah yang aku nikmati satu tahun sekali, bisa bertemu kembali dengan orang-orang yang mungkin jika tidak lebaran, tidak akan pernah bertemu.

"Taufik gak nginep aja?" Mbah Kakung masih merayu. "Besok biar dianter Pranoto ke rumah!"

"Lha?" Paklek Pranoto tampak tidak terima. "Kok jadi aku yang repot?"

Aku tertawa, "Kapan-kapan lagi aja, Mbah. Aku gampanglah ntar ke sini lagi." Biasanya aku akan menginap. Bahkan kadang hingga dua hari. Namun lebaran kali ini, aku tidak bisa, aku tidak mau. Aku ingin menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan Mas Satria sebelum dia balik ke Jakarta.

Akhirnya setelah rayuannya tidak mempan, Mbah Kakung dan Mbah Putri merelakan aku pulang. Kami dibawakan banyak oleh-oleh. Ibuku sampai kewalahan menolak beberapa. Bagasi mobil Mas Heru penuh kembali. Tadi sewaktu berangkat penuh dengan barang bawaan untuk Mbah Kakung dan Mbah Putri, pulangnya penuh oleh-oleh dari mereka.

Saat perjalanan pulang, Mas Heru memutuskan untuk melewati tol Tanjungmas – Srondol, lebih cepat katanya. "Eh, Pak, mau mampir pemandian air panas Derekan nggak?" tawar Mas Heru. "Sekalian pulang kan? Enak ini biar agak rileks badan," katanya lagi.

"Emang ada apa di sana?" tanya Mas Satria dari belakang dengan nada penasaran. Beberapa hari mengenalnya, aku jadi tahu Mas Satria ini tipe anak ibukota yang menyukai alam pedesaan. Terlihat dari antusiasnya dia mandi di kali. Main ke ladang. Lalu ini, penasaran dengan pemandian air panas.

"Ya air panas, Sat! Ada candi juga, iya gak sih, Pak?" Mas Heru memastikan kebenaran informasinya ke bapak.

Bapak menjawabnya dengan anggukan. "Ya udah ini pada mau enggak?" tanya bapak. Meminta pendapat semua penghuni mobil. Kedua kakakku tidak setuju, dengan alasan ribet nanti tidak bawa baju ganti. Sedangkan Mas Satria nampak ingin sekali ke sana.

Aku? Ya jelas ikut Mas Satria. Ibuku netral, jadi diputuskan kita mampir ke pemandian air panas Derekan karena kedua kakak perempuanku kalah suara. Kalau dari Semarang, letaknya sebelum Bawen. Ini bukan pertama kalinya aku kemari, tahun lalu, aku juga kemari karena Mas Heru selalu ingin mampir. Bedanya waktu itu aku ke sana saat sudah hampir malam. Pemandian air panas ini buka 24 jam kok, jadi tenang saja.

Begitu turun, Mbak Kartika, Mbak Fitri dan Ibu memilih untuk jalan-jalan di candinya. Sementara aku, Mas Heru, Bapak dan Mas Satria langsung menuju ke kolam air panasnya. Ada beberapa kolam. Ada yang khusus perempuan, ada juga yang khusus laki-laki. Beberapa ada yang dekat dengan tempat parkir namun sedikit terbuka. Memang kolamnya banyak. Namun tidak semua terisi air, ada sebagian yang kosong. Kami memilih yang di dalam walaupun harus membayar biaya masuk lima ribu per orang. Setidaknya lebih aman. Begitu masuk, Bapak dan Mas Heru memesan kopi dan mulai merokok. "Satu batang dulu," kata mereka berdua beralasan.

TAUFIK THE SERIES I : MAS SATRIA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang