Happy Reading!
________________"Jangan terlalu cepat mengambil keputusan, karena kita tidak tahu alasan dibalik itu semua."
-||-Mulai hari ini Citra resmi menjadi sekretaris Arvi, ruangannya sudah beralih tempat yang kini berada diruangan yang sama dengan Arvi. Pekerjaannya pun semakin bertambah. Berbeda jika saat posisinya hanya karyawan biasa sama seperti karyawan lainnya.
Citra menatap fokus ke layar komputer, memperhatikan kembali data-data pengeluaran dan pemasukan dua bulan terakhir. Matanya mulai lelah. Cahaya yang ditimbulkan dari komputer itu terlalu terang. Bahkan kini kacamata radiasi yang dipakainya pun sudah turun ke hidung. Sudah beberapa kali sejak tadi ia mengerjapkan matanya. Entahlah ia pun tak tahu.
"Kalau sudah capek, berhenti saja dulu. Jangan kamu paksakan." Ujar Arvi bersuara.
Ia yang tadinya fokus pada kerjaannya melihat Citra seperti itu langsung membuka suara. Ia tau bahwa pekerjaan yang ia beri kepada Citra itu tidaklah sedikit. Tapi ia sama sekali tidak memaksa untuk selesai hari ini.
"Gak papa pak, saya masih bisa melanjutkannya." Jawab Citra tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
Arvi hanya terdiam sesaat lalu kembali melanjutkan pekerjaannya begitupun dengan Citra.
-||-
"Dimana tanggung jawab kamu sebagai seorang ayah hah? Dengan seenaknya kamu lepas tangan gak berpikir sama sekali gimana anak kamu selama ini." Arva mendengus membuang pandangannya sembarang arah.
"Kamu gak usah salah-salahin aku. Emang kamu pikir kamu udah baik jadi seorang ibu? Apa yang bisa kamu kasih buat anak itu? Gak ada! Kalau tanpa adik kamu, kamu gak ada bedanya sama aku Sya! Gak usah merasa paling benar!" Laki-laki itu kembali membentak Arva. Laki-laki ini merupakan ayah dari Gisel. Ia memanggil Arva dengan nama belakangnya Vasya.
Arva menggeleng tak percaya. Bagaimana bisa seorang ayah yang dulunya ingin mengambil Gisel darinya dengan cara mengambil paksa dan menculik Gisel, dan kini ia tidak mengakui bahwa Gisel itu darah dagingnya. Hanya karena tidak ingin kedoknya terbongkar oleh keluarga istrinya yang sekarang. Benar-benar menjijikkan!
"Brengsek!" Arva meludah seakan jijik melihat laki-laki dihadapannya ini.
Prok! Prok!
"Waw! Vasya yang aku kenal udah bringas ya, bukan lagi Vasya yang lemah lembut dan penuh etika." Andru bertepuk ria, sambil menyeringai menyunggingkan bibirnya.
Arva mengepal kedua tangannya menghirup nafas dalam, bola matanya kini membulat sempurna menahan gejolak emosi yang membara ditubuhnya.
"Orang kayak lo gak pantas dikasih hati! Gak perlu pakai etika ngomong sama iblis kayak lo. Harusnya lo gak pernah hidup di muka bumi ini! Lihat lo aja gue jijik tau lo, lebih menjijikkan dari pada tai!" Arva memalingkan wajahnya memutar tubuhnya lalu berjalan meninggalkan Andru yang berdiri dibelakangnya. Sebelum dirinya jauh, Andru mencekal kuat tangan Arva, dengan kasar membalikkan tubuh Arva. Cara lirikan matanya menatap Arva tak bisa diartikan.
"Terserah kamu mau mikir apa tentang aku, terserah! Kamu bakal tau jika saatnya nanti udah waktunya buat kamu tau segalanya." Suara berat itu terdengar seperti memberitahukan sesuatu, Andru menatap Arva dalam dengan pikiran berkecamuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY LIFE
RandomCover by pinterest @haixyar _______________________________________ 🌿 "Chik tungguin gue," Bruk!! "akh sakit pantat gu___" aduh Radit, ia memegang dan mengelus pantatnya yang kesakitan akibat terpeleset kulit pisang yang dibuang Chika barusan. Ten...