-ML23-

65 24 12
                                    

Happy Reading!
_________________

-||-

Setelah kepulangan mereka dari tempat pemakaman, suasana dirumah Arvi masih sedang berduka atas kehilangan salah satu anggota keluarganya.

Mereka terduduk di ruang tamu bersandar pada dinding sofa, dengan masing-masing muka terlihat sembab akibat lelah menangis.

"Mas, ini tadi aku temukan ini di atas meja rias mbak, sebelum kami kerumah sakit." Irvi berjalan kearah Arvi berdiri dihadapannya memberikan sebuah surat yang diyakini ditulis oleh Arva sang kakak.

Arvi menatap sendu adiknya kemudian mengambil surat itu dan membukanya.

Untuk adik mbak, Arvi.

Terimakasih untuk semua yang telah kamu lakukan untuk mbak dan Gisel, mbak gak tau gimana nasib mbak
kalau kamu tidak membantu mbak berjuang, sekarang mbak gak perduli
lagi apapun yang terjadi pada Andru, mbak harap mbak gak pernah bertemu lagi dengannya, mbak hanya memikirkan nasib dan masa depan anak mbak.

Maafkan mbak jika suatu hari mbak sudah tiada, gak lagi ada dalam kehidupan kalian. Mbak yakin saat kamu membaca surat ini mbak udah gak ada lagi dalam kehidupan kalian. Mbak mohon kamu berjanji satu hal sama mbak Vi, tolong jagain Gisel dan terus buat dia bahagia, hidup mbak sekarang udah gak ada artinya lagi, cuma Gisel pelita buat mbak. Mbak harap semoga kamu mau menjaga Gisel untuk mbak Vi.

Hehe, mbak udah banyak omong ya Vi, pasti kamu bosan dengarnya, asal kamu tau mbak nulis ini sambil nangis, mbak harap semoga kamu gak menemukan jejak air mata mbak, kalau iya anggap saja tak terlihat Vi, mbak malu hehe.

Ohh iya mbak lupa satu lagi, mbak harap kamu tidak pernah menyakiti wanita selama mbak gak ada, jadilah Arvi yang selalu jadi kebanggan mbak, jangan jadi bajingan seperti Andru, mbak nyesal pernah mencintainya.

Kasihh Citra dong Vi, mbak dah capek ngomong terus sama kamu.

Sambil terisak Arvi membaca surat itu, air matanya berlinangan di pelupuk matanya, ia terus menunduk dan berusaha mengikhlaskan kepergian kakak kesangannya itu. Menghapus air matanya kasar lalu ia memberi surat itu kepada Citra yang berada disampingnya.

Tanpa babibu dan bertanya Citra langsung mengambil surat yang diberi Arvi dan membacanya. Karena ia tau, bukan saatnya untuk bertanya saat ini.

Haii, Cit. Gak terasa ya udah enam bulan aja mbak kenal sama kamu, gak nyangka
Takdir mempertemukan kita, mbak udah nganggap kamu itu seperti Arvi dan Irvi, seperti adik mbak sendiri.

Jangan nangis Cit....hehe.
Mbak tau kok kamu sedang nangiskan?
Jangan nangisin mbak, mbak udah bahagia kok disini. Kamu cukup jagain Gisel aja udah cukup buat mbak tambah bahagia disini Cit.

Mbak cuma mau ngomong suatu rahasia sama kamu.

Kalo kamu mau sesuatu, langsung minta aja sama Arvi, jangan kode-kode. Dia itu gak peka orangnya. Mbak aja selalu kesel sama dia. Makanya sampe sekarang dia gak punya cewek hihi.

Citra tertawa kecil saat membaca surat dari Arva meski dengan air mata berlinang. Ia kembali melanjutkan membaca suratnya.

Kamu juga harus sabar-sabar sama adik mbak itu Cit, dia emang dingin seperti itu, terkesan bodo amat. Tapi kamu harus tau jika dia perhatian sama kamu, bahkan sampai marah-marah, itu tandanya kamu berarti buat dia. Dia itu cemburuan banget orangnya. Siap-siap aja kamu kalau suatu saat dia tau kamu berduaan dengan cowok lain, dia bakal cuekin kamu dan diamkan kamu. Karena dia tipe cowok yang tidak suka marah-marah untuk itu.

Mungkin dia belum sadar aja akan perasaannya Cit, karena dia pernah patah hati dengan cinta pertamanya. Mbak harap kamu lah penyembuh bagi luka masalalunya. Karena mbak tau kamu cewek baik dan pantas buat adik mbak Cit.

Mbak hanya minta satu hal sama kamu tolong jagain Gisel buat mbak, dan buatlah anak mbak bahagia. Boleh gak mbak minta satu hal lagi sama kamu?

"Apapun itu selama Citra bisa, Citra bakalan penuhi mbak." Ucap Citra berujar pelan.

Mbak mau kamu menikah dengan Arvi
Dan membiarkan Gisel untuk memanggil
Arvi dan kamu ayah dan bunda, mbak mohon Cit. Ini permintaan terakhir mbak. Mbak ingin melihat anak mbak satu-satunya memiliki keluarga yang utuh.

Arvasya
Mama Gisel

Deg!

Citra merasakan jantungnya berpacu cepat. Bagaimana ia bisa menikah dengan Arvi sementara mereka tidak saling mencintai? Citra mungkin sudah merasa nyaman dan mulai dekat dengan Arvi. Tapi tidak dengan Cinta. Tidak mungkin juga Arvi mencintainya. ia hanya orang baru yang dipersilahkan hadir oleh sang maha kuasa dikehidupan sang atasan. Citra rasa pun Arvi masih memiliki rasa untuk cinta pertamanya itu, karena bagaimanapun keadaannya cinta pertama itu sangat sulit untuk dilupakan.

Citra menegang ditempatnya, meletakkan pelan surat itu diatas meja. Mata kosongnya memandang lurus.

"Baca yang terakhir pak." Ujarnya pelan.

Arvi mengerutkan keningnya, hendak membuka suara, lebih dulu Citra menyela.

"Baca aja." Dengan anggukan Arvi langsung membacanya.

Setelah membaca dibagian akhir isi tulisan surat Arva, Arvi melotot memandang kertas ditangannya. Lalu pandangannya menyelami netra Citra yang juga menatapnya. Mereka terdiam cukup lama menyelami pikiran masing-masing.

"Kamu tidak perlu khawatir, jika kamu keberatan kamu tidak perlu memenuhi permintaan ini. Saya tau kamu masih memikirkan man__" ucapannya terhenti kembali disela oleh Citra.

"Kita harus menikah! Bagaimana pun juga janji harus dipenuhi!" Sahut Citra tegas.

"Lalu bagaimana dengan__"

"Bapak tidak perlu khawatir, saya sudah tidak perduli tentang dia, anggap saja saya tidak pernah mengenalnya." Citra memandang lurus keatas langit-langit rumah membuang jauh-jauh pikirannya tentang masalalunya. Bagaimanapun juga ia sudah berjanji untuk memenuhi permintaan Arva, walau kemungkinan mereka menikah tanpa cinta. Itu tak masalah.

Arvi mengangguk sekali lagi, "baiklah, besok saya kerumah kamu untuk meminta restu kedua orang tuamu. Kita menikah seminggu lagi." Ucap Arvi final. Citra mengangguk.

"Kalau kamu berubah fikiran, kamu bisa bilang ke saya." Citra mengngguk lagi.

Citra mengedarkan pandangannya dilihatnya kini tinggal ia berdua dengan Arvi di ruangan ini, mungkin kedua orang tua Arvi dan adiknya Irvi sudah pergi kekamar mereka masing-masing untuk istirahat, menetralisir rasa lelah mereka.

"Ya udah Citra pulang dulu ya pak, sudah sore, nanti orang rumah nyariin." Citra hendak beranjak Arvi menghentikannya.

"Tunggu biar saya antar. Sebentar saya ganti baju dulu," Citra mengangguk, dengan Arvi yang sudah pergi berganti baju kekamarnya.

Tak beberapa lama Arvi keluar dari kamarnya dengan pakaian lebih santai baju kaos polo bewarna abu-abu dengan celana pendek bewarna putih. Menambah kesan ketampanannya.

Lalu mereka berjalan beriringan keluar, lalu mobil itu mendarat melaju dalam kecepatan normal menjauhi perkarangan rumah keluarga Arvi.




MY LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang