📜BAGIAN 3

48 6 0
                                    

Kebaikan tidak akan sirna, dosa tidak akan dilupakan, dan hakim tidak akan bisa tidur. Maka jadilah kamu sebagaimana yang kamu inginkan. Sebagaimana kamu memperlakukan, kamu pun akan diperlakukan.

[Az-Zuhd, 1/117]

*****
"Kemarin saya berkunjung ke rumah mak cik, om."
"Apa saja yang dia katakan?"
"Banyak sekali cerita," Dilara menarik napas panjang, "dan tentu saja belum saya ketahui dari ayah dan bunda semasa hidup,"

Gunadi sangat memahami, alasan Jihan dan Zeheb——ibu dan ayah Dilara tidak menceritakan hal-hal yang telah terjadi pada keluarga mereka, "keluarga saya banyak berhutang budi pada om Gun dan tante Lia,"

Dilara menghentikan sejenak ucapannya, ia mencoba menetralkan pikirannya supaya dirinya tetap terlihat baik-baik saja, "soal kakak kandung saya, Yasin Gökhan, om yang menyelamatkannya dari kebakaran hotel Djayawangsa tahun 2001 lalu, kan?"

Gunadi hanya terdiam menatap jari jemarinya yang bertaut,

"Selama itu pula om nggak pernah menceritakan apapun pada saya, om nggak memberitahu saya kalau saya mempunyai seorang kakak," pelupuk matanya mulai memanas, "sampai ia berpulang."

Dilara merasakan dadanya begitu dipenuhi beban berat yang harus dihadapinya sendiri, sendiri. Tanpa ayah dan bundanya lagi.

"Apakah kematian ayah dan bunda saya adalah pembunuhan berencana, om?"

Gunadi menatapnya sesaat, ia mengangguk, mengiyakan dengan perasaan yang juga begitu terasa memilukan, "banyak yang membenci ayahmu," tatapannya dalam pada Dilara, "karena ayahmu seorang pengacara yang benar-benar jujur dan bijaksana. Ia menyelamatkan banyak orang dari pidana yang tidak mereka lakukan, dan ia tetap akan membuat pelaku kejahatan yang sebenarnya terbukti bersalah, sekalipun mereka telah meminta bantuannya dan berjanji akan memberi sejumlah uang yang banyak."

Dilara memejamkan matanya, buliran air mata tidak tertahankan lagi untuk tidak jatuh, pelupuk matanya terasa semakin panas, hatinya seperti sudah tidak tahan lagi menerima banyak kenyataan yang begitu menamparnya hingga terasa seperti membuatnya tersungkur ke dasar tanah.

"Kak Yasin, dia dikirim ke Turki, kampung halaman ayah. Sebenarnya bukan untuk melanjutkan sekolah kan, om?"

Gunadi masih terdiam, mendengar segala pernyataan Dilara yang entah mengapa membuatnya justru merasa bersalah pada gadis itu,

"Setahun setelah kebakaran di hotel, kak Yasin yang masih berumur 7 tahun harus berpisah dengan ayah dan bunda. Ia harus tinggal di Turki sejak saat itu. Karena ancaman pembunuhan." Dilara terisak, tak mampu lagi menceritakan apa yang telah bibinya katakan kemarin malam, "om Gun, kenapa orang-orang membenci keluarga saya? Mengapa mereka menyakiti keluarga saya?"

"Yasin meninggal dunia, karena kanker darah yang dideritanya. Dia tutup usia pada 22 tahun. Om sangat terpukul mendengar kabar itu dari Gülbahar, sepupu perempuan ayahmu." Gunadi masih berusaha membuat suasana hati Dilara kembali membaik, meskipun tidak ada alasan untuk ia kembali tersenyum detik ini,

"Om sudah menganggap Yasin seperti anak om sendiri, Dilara. Ayahmu dan aku bersahabat sejak kami masih sekolah dasar, setelah itu ayahmu kembali ke Turki melanjutkan pendidikannya, dan kami bertemu lagi ketika ayahmu——Zeheb memutuskan untuk bekerja di Indonesia, dan akhirnya ia menikah dengan ibumu, perempuan berdarah Melayu yang berada di satu kantor dengan ayahmu dulu."

"Om turut berduka cita atas kematian Zeheb dan Jihan. Mendengar kabar itu om dan tante Lia sangat terpukul,"
"Om, terimakasih atas segala kebaikan om pada keluarga saya, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang lebih besar."
"Aamiin.."

MAHARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang