📜BAGIAN 4

38 4 1
                                    

Duhai saudaraku,
Dunia adalah racun-racun yang mematikan.
Sementara itu, jiwa ini pada tipu dayanya tidak begitu menghiraukan.

Betapa banyak tatapan terasa indah pada permulaan. Namun, rasa pahitnya pada masa yang akan datang tidak akan mampu tertahankan.

—Ibn al-Jauzi رحمه الله
📖Bahru ad-Dumu'/37

"Dilara, sudah hampir petang. Kamu nggak pulang?"

Gadis itu masih diam di sana, berdiri diantara pilar-pilar gedung ruangan tempatnya belajar, waktu kursusnya sudah berakhir lima belas menit yang lalu, namun ia masih enggan meninggalkan tempat itu.

"Aku akan ke Masjid." Gumam Dilara ketika menyadari seseorang di sampingnya masih ada di sana,
"Mau aku temani?"
"Kamu harus menyiapkan buka puasamu, kan?"
"Masih satu jam lagi."

Dilara mengalihkan wajahnya, menatap penuh pada seseorang di sampingnya,
"Berpuasa selama 25 jam, menu berbukanya harus istimewa." Dilara menyentuh pundaknya dan tersenyum hangat, "pulanglah, Ezra. Aku baik-baik saja sendiri."

Gadis itu mengangguk mengiyakan, dan membalas senyuman Dilara ketika ia sudah akan pergi berjalan menuju Masjid yang berdiri kokoh 100 meter dari tempat mereka berdiri di tengah-tengah sorotan matahari sore yang tinggal separuh utuh, "semoga Tuhan Musa selalu menjaga." Bisiknya lirih.

Dilara hanya tersenyum dan kembali berjalan meninggalkan Ezra, teman satu kursusnya yang berada di satu kelas yang sama dengannya.

Suara kumandang adzan mulai terdengar, bersahut-sahutan antara masjid yang satu dengan yang lainnya. Suara muadzin yang berbeda-beda namun menjadi satu seperti alam raya ingin mengumpulkannya dalam padu padan yang merupakan kenikmatan dalam pendengaran.

BATAS SUCI
ALAS KAKI HARAP DILEPAS.

Dilara duduk di bangku panjang yang sengaja disediakan, melepas flat shoesnya ketika ia telah berada tepat di depan halaman masjid yang bertuliskan huruf kapital di lantainya per empat meter.

Setelah sholat maghrib ia tunaikan, ia memperhatikan sekelilingnya dengan tenang. Satu per satu orang mulai meninggalkan tempat rukuk dan sujud mereka, melanjutkan kembali aktivitas atau pulang ke rumah.

Dilara memperhatikan tirai yang menjadi hijab antara jama'ah laki-laki dan perempuan dari arah bawah. Sudah banyak juga kaki yang mulai melangkah keluar, tapi ia enggan untuk berdiri dan masih saja terus menggerakkan jari-jarinya selaras dengan bibir yang terus melafadzkan dzikir.

"Allah.. Allahu rabbi.. Laa usyriku bihi syai'aan.." ucap Dilara dengan lirih lalu memejamkan kedua matanya.

"Wahai Dzat Yang Maha Hidup Kekal, Yang terus menerus mengurus mahluk-Nya, hanya dengan rahmat-Mu saja, aku meminta pertolongan." gumamnya lagi sambil membuka matanya dan menghapus air mata yang sudah membasahi pipinya sejak tadi.

Dilara bangun, dan merapihkan mukenanya kemudian memasukkannya ke dalam tote kanvas kesayangannya.

Dengan langkah ringan ia membuka pintu masjid untuk keluar, memakai sepatunya dan kembali berjalan dengan tujuan tempat pemberhentian bus atau metromini malam.

"Apa kamu juga bekerja di sekitar sini?"

Ucap seseorang tiba-tiba. Dilara spontan melihat ke arahnya dan harus membuatnya sedikit mendongak karena orang itu lebih tinggi darinya. Ia menghela napas untuk menetralkan degup jantungnya karena terkejut.

Dilara akhirnya menghentikan langkahnya, memperhatikan pemilik wajah itu di bawah sinar lampu pintu keluar masjid yang tidak terlalu terang. Setelah cukup yakin aman, ia bergumam;

MAHARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang