📜BAGIAN 9

54 5 1
                                    

هنك من يحتا جك لشيء، و هنك من يحتا جك لأنّك كلّ شيء.

Di sana ada seseorang yang membutuhkanmu karena ada inginnya.
Ada juga yang membutuhkanmu karena kamulah segalanya.

*****

Dilara berdiri di depan susunan rak bunga anggrek yang bermacam-macam jenisnya. Sesekali ia tersenyum ketika melihat setiap kelopaknya satu per satu. Sebab bunga anggrek mengingatkannya pada ayah dan bundanya yang memiliki jenis favorit bunga yang sama.

Belajar ilmu sabar itu tidak ada tamatnya. Perlu latihan setiap saat dan juga evaluasi secara bersamaan. Sertifikat penghargaannya bukan lagi pada tinta di atas kertas, tapi pada kasih sayang dari Ar-Rahiim yang tidak pernah memiliki batas.

Orang yang sabar adalah orang yang selalu mencintai dan percaya pada proses yang dilalui. Kalaupun hasil akhirnya tidak seperti yang dia harapkan, dia akan tetap tenang. Karena suatu saat segala keindahan pasti Allah tunaikan tersebab doanya pada malam-malam yang panjang.

Nak, jika doa-doamu terkabul berbahagialah satu kali saja. Tapi jika tidak terkabul, berbahagialah seratus kali. Sebab yang terkabul itu adalah pilihanmu sendiri, dan yang tidak adalah pilihan Allah. Berbahagialah karena dicintai-Nya, sebab jika cinta, Dia pasti akan memilihkan yang terbaik untuk hamba-Nya.

Seperti filosofi yang ada pada bunga anggrek, puncak untuk mencapai keindahan itu bukan hal yang mudah. Bahkan prosesnya mengharuskan para anggrek melewati perjuangan yang memberatkan. Sebab memeliharanya juga butuh waktu yang tidak singkat dan tidak mudah. Prosesnya sama dengan hidup manusia, ya?

Kalimat-kalimat itu masih terpatri jelas di memorinya setiap ia melihat bunga-bunga anggrek apapun jenisnya. Pesan-pesan ayahnya kini menjadi kidung yang selalu ia senandungkan di dalam hatinya ketika ia rindu.

Dan benarlah, rindu yang paling menyakitkan adalah merindukan seseorang yang sudah tidak lagi berpijak di bumi ini.

"Tolong dikemaskan satu, jenis ngengat yang warna ungu."

Dilara menunjuk anggrek di dalam pot minimalis yang tersusun dengan rapi dan teratur di rak besi berwarna putih gading. Niatnya, bunga itu akan dia gantung di samping jendela kamarnya, agar ketika ia membuka jendela yang ia lihat pertama kali adalah senyum ayah dan bundanya.

Pelayan toko bunga itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan sopan, lalu mengambilkan satu pot yang sudah berisi tanah juga tumbuhannya.

"Ada lagi, mbak?" Tanya si pelayan dengan ramah,
"Itu saja." Dilara mengalihkan pandangannya lagi melihat sekitar, banyak bunga-bunga yang begitu indah dan membuatnya seperti terhipnotis seketika, "maaf, saya juga mau anemonenya." Ucapnya lagi sebelum pelayan itu benar-benar pergi.

"Baik, silahkan ditunggu ya, mbak."

Setelah mendapatkan yang dicari, Dilara keluar dari toko bunga yang cukup terkenal di tengah kota tempatnya tinggal.

Hari-harinya pada pekan ini cukup membuatnya semangat bangun di pagi hari dan memulai aktifitas dengan wajah dan hati yang berseri. Sesampainya di rumah, ia langsung menyusun bunga-bunga itu di tempat yang sudah ia rencanakan sejak kemarin pagi.

Dilara duduk di kursi kamarnya yang menghadap langsung pada jendela yang terbuka, tiba-tiba bayangan wajah Fattan terlintas tepat di depan matanya. Jantungnya berdegup kencang, deru napasnya tertahan sepersekian detik dan hatinya seperti dilanda perasaan tidak tenang.

Astaghfirullaah..
Ucapnya segera dengan lirih.

Bayangan tentang Fattan mendarat pada waktu yang menurutnya tidak tepat. Sekarang pun masih belum juga enyah. Entah mengapa senyuman dan suara laki-laki itu seperti berada jelas di kepalanya—seperti sedang tersenyum dan berbicara padanya.

MAHARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang