Yang Tersayang

149 22 2
                                    

Rumah sakit adalah tempat yang paling dihindari Vandra. Selain karena bau obat-obatan, ia juga enggan melihat ada banyak orang yang menangis karena kehilangan orang terdekatnya. Maka sekarang ia merasa sangat wajar sedang berharap tidak mendengar kabar buruk dari mulut Kavin.

Temannya yang menyebalkan itu berpesan agar ia menunggu terlebih dahulu. Entah akan ke mana Kavin perginya sekarang.

"Nggak mau. Gue mau ikut pokoknya."

"Sebentar, Ra, nanti gue ke sini lagi."

Vandra memegang pergelangan tangan Kavin. "Deka nggak apa-apa, 'kan, Vin? Bilang dulu sama gue kalau Deka baik-baik aja."

"Lo tungguin di sini kalau mau tahu kabar soal Deka."

Bibir Vandra langsung terkatup mendengar itu. Ia menganggukan kepalanya berkali-kali membuat Kavin tersenyum tipis. Setelah Vandra setuju untuk menunggu, Kavin pergi begitu saja.

Lalu kini, entah sudah berapa menit Vandra berdiri di dekat pot bunga berukuran besar yang terletak di pojok ruangan. Ia menggigiti kukunya, kakinya terus bolak-balik berjalan tidak tentu arah. Deka baik-baik saja, bisiknya mengingatkan agar tenang.

Namun, bukannya tenang ia malah semakin gusar ketika Kavin datang dengan wajah yang sedih. Segera ia berlari menghampiri cowok berambut tebal itu untuk menanyakan Deka.

"Sabar ya, Ra," lirih Kavin, menepuk pundak Vandra.

Sekelebat bayangan Deka yang sedang tersenyum terlintas dalam kepalanya. Tiga kata itu membuat matanya memanas. Ia benci pikirannya yang terus memikirkan hal buruk tentang Deka.

"Vin, lo jangan bercanda, dong."

"Gue serius."

"Deka di mana sekarang?" tuntut Vandra, ingin segera mengetahui keberadaan Deka.

Kavin meraih tangan Vandra. Berjalan menaiki anak tangga dan beberapa lorong untuk sampai menuju salah satu kamar yang ada di sana.

Pintu kamar di depannya tertutup. Tadi, ia dirongrong rasa penasaran tentang keberadaan Deka. Namun sekarang, tangannya seolah sulit bergerak untuk membuka pintu berwarna putih ini.

Vandra tidak ingin pikiran buruknya terjadi jika ia membuka pintu. Merasa takut dan tidak sanggup kalau harus melihat Deka terluka.

"Buka pintunya, Vandra." Kavin menarik rambut Vandra pelan.

"Vin, Deka nggak apa-apa tapi, 'kan, ya?" tanyanya untuk yang kesekian kalinya.

"Buka pintunya, dan lo bisa lihat sendiri keadaan pacar lo," suruh Kavin, dengan tangan yang terlipat di dada.

Dengan gerakan lambat, Vandra kembali menyentuh gagang pintu dan membukanya perlahan. Kakinya maju satu langkah untuk memasuki kamar.

Kosong.

Tidak ada Deka atau siapapun di dalam kamar. Hanya ada sebuah brankar dengan selimut putih yang menutupi sesuatu yang membuat Vandra menggelengkan kepala berulang kali.

"Deka jangan bercanda sama gue," jerit Vandra frustrasi. Air matanya sudah mengalir bebas membasahi pipi.

"Deka!" Vandra berjalan maju untuk untuk medekati ranjang.

Tangan kanannya bergetar, terulur ingin menyentuh di balik selimut putih itu. Vandra menarik kembali tangannya, berganti untuk mengusap kasar air matanya.

Kembali berhenti tangannya saat akan membuka selimut. Suara pintu berderit membuatnya menoleh. Rupanya pintu kamar mandi yang terbuka.

"Gara-gara kamu jadinya Vandra nangis, 'kan." Sebuah suara yang Vandra hapal menggema di telinganya.

HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang