Tahun Itu

126 22 15
                                    

Hujan deras mengguyur ibu kota hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan deras mengguyur ibu kota hari ini. Sejak pagi langit yang membentang tidak kunjung memberikan tanda akan berwarna biru cerah. Yang ada hanya hamparan awan hitam yang menutupi langit dengan beberapa kali kilatan petir menyambar.

Berkali-kali perempuan berjaket hitam itu membuka gorden. Perasaan cemasnya tidak kunjung hilang, menunggu seseorang yang mungkin sedang termenung di tempat kerjanya atau memaksa pulang mengendarai sepeda motor.

Suara tangisan berasal yang berasal dari kamar membuatnya langsung berlari cepat menuju sumber suara. Malaikat kecilnya pasti bangun.

Benar saja. Sosok menggemaskan itu menangis, sementara tangan yang terus mengusap mata asal.

"Aduh, aduh sayangnya Bunda udah bangun, hm." Lula, perempuan itu meraih tubuh anaknya dengan penuh sayang. "Hujannya berisik, ya?"

"Rian lapar?" tanyanya yang dibalas ocehan tidak jelas dari anak berusia satu tahun itu.

Lula membawa Rian keluar kamar dalam gendongannya. Sudah waktunya bocah menggemaskan itu makan.

"Ayah belum pulang, sayang," kata Lula, dengan tangan yang sibuk menyuapi Rian. "Kita tunggu sebentar lagi, ya."

"La, Lula." Itu suara Evan, suaminya. "La, ini bayi siapa?"

Lula menyimpan mangkok kecil di tangannya. Berjalan cepat menghampiri Evan yang masih mengenakan jas hujan hitam. Bayi itu tampak pucat dan kedinginan. Tidak bertanya lagi, Lula langsung mengambil alih bayi mungil itu dari suaminya.

"Kamu jagain Rian dulu." Lula melesat menuju kamar untuk menghangatkan tubuh bayi di tangannya.

Perlahan ia memindahkan sang bayi dari keranjang ke kasur. Mengganti bajunya dengan baju yang seadanya, milik Rian dulu. Yang terpenting bayi ini tidak kedinginan. Siapa yang tega meninggalkan bayi menggemaskan ini, batin Lula bertanya.

Sangat cantik, pikirnya. Ah, lihatlah sepasang mata indah itu sedang menatap ke sembarang arah, tangan dan kakinya bergerak-gerak kecil.

"Kamu nggak tahu siapa yang menyimpan bayi itu di depan rumah kita?" Evan datang dengan keadaan yang jauh lebih rapi dan Rian dalam gendongannya.

Lula menggeleng pelan tanpa menatap suaminya. Ia masih sedang sibuk mengagumi ciptaan Tuhan yang tampak luar biasa.

"Lagian kalau aku tahu, aku pasti udah teriak dan larang dia buat buang bayinya," ujarnya kini melihat Evan.

"Terus mau kita apakan bayi itu? Kita lapor polisi atau mau bagaimana?"

Lula terdiam sejenak. Mengambil keranjang bayi yang tadi ia simpan tak jauh darinya. Mungkin ada petunjuk tentang bayi siapa ini.

"Diandra Catleya," gumamnya, melihat selimut merah muda yang terukir sebuah nama. "Namanya Diandra Catleya. Aku mau rawat dan besarkan dia, Mas." Lula membuat Evan terkejut bukan main.

HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang