Yang Terlupakan

166 32 19
                                    

"Kak Rian!" Vandra menggedor pintu kamar kakaknya tidak sabaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Kak Rian!" Vandra menggedor pintu kamar kakaknya tidak sabaran. "Bareng, ya ke sekolahnya."

"Dobrak aja, sayang pintunya." Dari belakang Evan membawa segelas kopi melewati putrinya. "Omong-omong selamat ulang tahun, anak Ayah yang paling cantik. Kadonya nanti Ayah pulang kerja."

Vandra tersenyum. Usianya bertambah satu tahun, dan jatah hidupnya berkurang. Sudah apa saja yang ia lakukan selama hidupnya? Lebih banyak kebaikan atau keburukan yang sudah ia perbuat. Berterima kasih pada Tuhan yang masih memberikan kesempatan untuk menginjak usia baru.

Tentu ia meminta yang terbaik untuk hari bahagianya. Mengaminkan semua doa yang sudah ia terima dari orang-orang di sekitarnya. Dan, semoga saja dikabulkan oleh Tuhan.

Evan sudah pergi, dan Vandra masih setia mengetuk pintu Rian. Selain meminta untuk berangkat sekolah bareng, sebenarnya Vandra sedang menunggu kado apa yang akan diberikan oleh kakaknya tahun ini.

"Berisik tahu, Ra," rutuk Rian begitu keluar kamar. "Lagi nungguin kado pasti, ya?" Rian menebak dan Vandra langsung mengangguk.

"Tutup matanya dulu, dong. Kamu pasti bakalan suka sama kadonya."

Tanpa berpikir lama, Vandra langsung menutup matanya. Menunggu dan penasaran apa kado yang diberikan oleh Rian sampai harus menutup mata.

Perlahan Vandra membuka matanya setelah mendapat perintah dari kakaknya untuk membuka mata. Seketika cewek yang sudah rapi dengan seragam putih abunya itu ingin membuang jauh-jauh makhluk di hadapannya itu.

"Bunda, Kak Rian jahat!" tanpa berpikir dua kali Vandra menjerit. "Bunda! Kak Rian harus dilaporin ke polisi!"

Rian langsung menjatuhkannya dan berganti menutup mulut Vandra. "Ra, itu kado khusus dari Kakak, loh."

Vandra memberontak, berusaha melepaskan tangan kakaknya. "Nggak mau. Kak Rian jahat, gak punya perasaan."

"Kayaknya ada yang kurang, ya kalau sehari aja nggak ribut?" Lula berkacak pinggang melihat kelakuan dua anaknya itu. "Hih, Bunda rebus kalian berdua lama-lama, ya," lanjutnya menarik tangan Rian dan Vandra menuju meja makan.

"Ih, Bunda, Kak Rian tuh yang mulai."

"Nggak, Bun bukan aku. Vandra yang duluan teriak."

"Ye, Vandra nggak bakal teriak kalau kado dari Kakak nggak kayak gitu," balas Vandra membela diri.

Rian yang di sebelah kanan Lula mencebika bibirnya. "Nggak tahu aja kamu gimana perjuangan Kakak buat dapatin itu."

Lula diam. Mendengarkan ocehan mereka yang tidak kunjung selesai bahkan setelah sampai di meja makan. Percuma mau disuruh diampun mereka tidak akan nurut.

HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang