1. Awal Dari Semua

2.8K 214 21
                                    

Anin mengibas-ngibaskan pakaiannya yang sedikit basah akibat percikan hujan sejenak. Saat ini ia sudah ada di teras vila termewah dan terbesar di kampungnya, vila milik keluarga Zeino.

Mata-nya menyusuri bagian luar vila itu, ia takjub. Teras vila saja sudah sebesar keseluruhan rumahnya. Sangat mewah dan terawat, tidak ada kesan kuno walau yang Anin tau usia vila keluarga Zeino sudah puluhan tahun. Itu semua karna memang vila itu diperbaharui bentuknya dan direnovasi setiap 5 tahun sekali.

Meski jarang ditempati, vila itu terjaga dengan baik. Katanya agar sewaktu-waktu ketika keluarga Zeino datang berlibur, vila itu siap ditempati.

Anin terkadang berdecak kagum ketika mendengar cerita Ibunya tentang orang terkaya di kampungnya itu. Tak sedikit Anin tau tentang cerita keluarga Zeino. Asal muasal mengapa orang kota seperti mereka punya vila di perkampungan ini, itu semua karna keluarga Zeino memiliki hampir seluruh lahan dan tanah di kampung ini. Objek wisata dan rekreasi adalah bangunan dari perusahan keluarga Zeino. Kontribusi mereka dalam membangun desanya bahkan lebih banyak daripada yang dilakukan pemerintah. Itulah mengapa keluarga itu sangat di hormati di sini.

Dan ada satu lagi cerita yang tak Anin sangka-sangka yang sangat membuatnya takjub, ternyata sekitar 23 yang lalu katanya pewaris utama keluarga Zeino juga menikahi gadis dari kampungnya. Namanya Ara, anak dari Almarhum Kakek Pardi dan Nenek Wahida.

Anin tak begitu mengenal wanita bernama Ara itu, tapi dulu ia pernah melihatnya ketika seluruh keluarga Zeino datang saat meninggalnya Kakek Pardi. Sudah sangat lama, waktu itu Anin bahkan masih berusia 6 tahun. Jadi ia sudah lupa wajah wanita itu, yang ia ingat tante Ara itu memang cantik. Dulu ia juga dinobatkan sebagai kembang desa dan diincar banyak pria. Karna itulah Anin tak heran kalau pewaris keluarga Zeino bisa jatuh cinta padanya hingga menikahinya.

"Ini. Lap tubuh kamu dulu."

Tiba-tiba Gio keluar dari dalam vila dan melempar handuk pada Anin, membuat gadis itu sedikit terlonjak kaget.

"Ehhem.. Mas Gio, makasih ya buat handuknya."

Gio tak membalas ucapan Anin, ia memalingkan kepala mengabaikan ucapan gadis itu. Mata-nya menatap pada cuaca, hari sudah malam. Hujan belum juga reda, malah semakin deras. Angin masih berembus kencang.

Gio berpikir-pikir, bagaimana Anin bisa pulang dalam cuaca seperti ini? Itu berbahaya. Termelebih kaki Anin sedang sakit, Gio tak mungkin tega membiarkannya begitu saja setelah ia manfaatkan. Ia bukan orang tak tau diri seperti itu.

"Hm.. Anin," panggil Gio.

"Ya Mas?"

"Kamu berani pulang sendiri? Kalau nggak, saya bisa antar kamu pulang."

Anin terdiam, tampak berpikir sejenak. Anin memang lumayan takut, tapi memikirkan akan diantar pulang oleh laki-laki kota yang tampan ini membuat Anin bergidig ngeri.

Bukan ngeri karna takut pada Gio, tapi ngeri karna takut pada jantungnya yang sejak tadi berdebar-debar tak karuan saat digendong laki-laki itu.

"Ng-nggak kok, Mas. Anin berani kok, asal gak ada petir aja, Anin berani," ucap Anin dengan senyum sumringah di wajah cantiknya.

Namum sesaat kemudian senyuman itu berubah jadi pekikan saat suara petir tiba-tiba datang menggelegar.

"Ahhh..," Anin berteriak kuat kemudian refleks melemparkan diri ke pelukan Gio.

Tidak. Anin paling takut dengan petir. Ia sangat benci pada suara kemurkaan alam yang satu itu.

"Bagaimana? Masih berani?" tanya Gio yang hanya terdiam pasrah tubuhnya ditempeli Anin.

Jodoh DadakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang