"Kami nggak zina!" ucap Gio dengan tegas menjawab tudingan para warga.
"Tapi kalian berpelukan dan tidur bersama. Siapa yang percaya kalian nggak ngapa-ngapain? Lagipula baju Anin tadi sudah membuktikan semuanya," ucap sang kepala desa tak kalah tegas.
Gio menghela nafas kemudian melirik Anin yang duduk di sebelahnya. Sedari tadi gadis itu hanya diam sambil menunduk tanpa berkata apa-apa.
Padahal mereka sudah ada di balai desa. Karna kejadian tadi mereka digiring paksa kemari dan didudukkan di atas sebuah permadani coklat dengan meja di depannya. Warga desa berkumpul dengan ramai, termasuk kedua orangtua Anin dan juga Neneknya. Tinggal menunggu penghulu saja, maka mereka pun akan dinikahkan.
"Anin tolong bicara. Katakan pada mereka kalau kita nggak melakukan apa-apa," bisik Gio mencoba meminta bantuan Anin.
Ia kira jika Anin selaku warga di kampung ini yang bicara maka mereka akan percaya. Tapi saat mendengar ucapan Anin....
"Percuma, Mas. Mau kita jelasin gimanapun mereka nggak akan percaya. Orang-orang di kampung ini cuma akan percaya apa yang mereka lihat."
"Ah shit." Gio mengumpat. Amarah dalam dirinya berkobar sangat jelas di wajahnya.
"Kenapa mereka seperti ini?! Bukankah keterlaluan memaksa orang menikah?! Itu sudah melanggar Ham!"
"Anin nggak tau, Mas. Yang Anin tau ini bukan pertama kalinya kejadian seperti ini terjadi di sini."
Gio mengernyit. "Maksud kamu?"
"Dulu ada juga orang Jakarta kayak Mas Gio dipaksa nikah sama gadis di kampung ini karna dituduh berzina. Anin nggak tau kejelasannya gimana, tapi setau Anin kalau ada kejadian seperti itu, baik warga kampung ini atau bukan, pasangan itu nggak akan bisa tinggal di desa ini lagi. Setelah dinikahkan mereka harus pindah dari sini," jelas Anin yang berakhir dengan nada sedih di akhir suaranya.
Gio terdiam. Tak tau harus mengatakan apa lagi. Ia flashback kembali alasan ia datang ke desa ini seminggu yang lalu.
Setelah lepas dari mumetnya bertempur dengan skripsi dan sidang, Gio pikir ia butuh liburan untuk menenangkan diri sejenak sembari menunggu wisuda tiba. Dan tempat pertama yang terlintas di otaknya adalah kampung halaman Mama-nya lahir dan dibesarkan.
Gio pernah datang ke desa ini waktu ia berusia 12 tahun. Saat itu Kakek, Ayah dari Mamanya meninggal dunia. Ia teringat desa ini sangat sejuk dan damai, cocok jadi tempat pelarian sementara. Karna itulah Gio memilih desa ini.
Tapi apa sekarang? Kenapa mendadak jadi begini? Bukan ini tujuan kedatangannya. Ia tak pernah berpikir untuk menjemput jodoh ke sini.
"Kalau Mas Gio nggak mau banget nikahin Anin, Mas Gio boleh pergi kok dari sini. Mas Gio kabur aja," saran Anin yang tiba-tiba berhasil membuat Gio tergiur dengan ide itu sesaat.
Namun saat ia memperhatikan sekitar, apalagi melihat kerumunan Bapak-Bapak dan pemuda di kampung itu yang amat seram dengan tubuh besar-besar, seketika nyalinya raup entah kemana.
"Kamu mau saya mati digebukin?" tuding Gio kesal.
Anin cepat-cepat menggeleng mendengarnya.
"Nggak kok, Mas. Anin nggak--"
"Penghulunya sudah datang, Pak Kades."
Ucapan Anin terpotong saat mereka mendengar suara seseorang menyerukan kedatangan penghulu yang sudah ditunggu selama 15 menit lamanya dengan lantang.
"Baguslah, kalau begitu acaranya bisa segera kita mulai sekarang," ucap Kepala desa tenang.
Anin menghela nafas, sementara Gio sudah menggaruk kepalanya frustrasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Dadakan
General FictionDisarankan membaca Zeino family seri pertama dulu. Pernikahan paksa (Istri Rahasia). Gio Zeino, lelaki berusia 22 tahun yang sangat sial. Mendadak dapat jodoh disaat ia tak pernah memimpikan sebuah pernikahan di usia muda, apalagi yang jadi istrinya...