11. Mertua

2.4K 256 31
                                    

Lama gak up, wkwkwk....






"Silakan masuk, Non."

Anin menatap ragu pada pria bernama Bram itu saat ia dipersilakan memasuki pintu sebuah rumah yang sangat besar seperti istana. Ia menoleh ke belakang, menatap Wara dan Satya yang sedari tadi mengekor di belakangnya juga dengan tatapan tak kalah ragu.

"Wara, Anin takut. Kamu yang masuk duluan yah," ucap Anin memelas.

Wara hampir saja mengangguk setuju, tapi Satya menahan tangannya sambil berbisik, "biarin dia aja, kan dia menantu baru rumah ini, biar dia ngelakuin sendiri."

Wara pun terdiam, Satya terkekeh senang karna kembarannya itu bisa diajak kerja sama menjahili Anin.

"Wara," panggil Anin.

"Kamu harus duluan, Nin, soalnya yang ditunggu di dalam itu kamu, bukan kami."

Mata Anin hampir berkaca-kaca mendengar ucapan Wara. Ditunggu? Astaga.. Anin ingin mati karna gugup sekali. Ia takut, belum pernah sebelumnya Anin berhadapan dengan orang asing seperti ini. Anin butuh Gio, tapi kabar yang ia dengar tadi katanya laki-laki itu pulang ke kampung hanya untuk mencarinya.

Ya Tuhan, Anin menyesal main kabur-kaburan. Tidak akan lagi-lagi.

"Ayo, Non, silakan," Om Bram kembali mempersilakan.

"Antarin Anin pulang ke apartemen Mas Gio aja ya, nanti Anin ke sini lagi pas sama Mas Gio," ucap Anin mencoba membuat kesepakatan, tapi gelengan tegas Om Bram membuatnya ingin menangis.

"Kamu sudah ditunggu mertuamu di dalam, Non. Saya juga tadi diperintahkan buat membawamu ke sini, tolong masuk saja sekarang."

"Tapi aku takut."

"Kenapa harus takut? Lo kira orang di rumah gue makan orang?!" sambar Satya menanggapi ucapan Anin.

Anin membalasnya dengan bibir cemberut. Matanya beralih pada Wara, bermaksud meminta pembelaan, namun laki-laki itu malah mengalihkan wajah darinya. Anin sedih.

"Kalo lo nggak masuk sekarang, biar orang rumah yang gua suru keluar jemput lo. Pilih mana?"

Mata Anin membesar. Dijemput? Gila saja, mana mungkin ia membiarkan itu.

"Oke. Anin masuk."

"Ya udah sekarang! Kaki gua pegal nih nungguin lo masuk duluan."

Anin mendengus kemudian berbalik menghadap pintu lagi. Sejenak ia menatap ke dalam rumah, melihat suasana sembari menguatkan hati. Ia mulai membayang-bayangkan adegan sinetron yang beberapa kali pernah ia tonton, di mana si gadis miskin akan dilempari uang oleh orang tua si laki-laki yang sangat kaya, kemudian disuru meninggalkan anaknya. Anin mulai membayang-bayangkan adegan itu akan terjadi padanya.

Kalau itu terjadi, Anin harus bagaimana? Apakah ia pergi saja dan mengambil uang itu? Rasanya terlalu sayang untuk menolak uang banyak, tapi kalau ia ambil, nanti ia akan dihina. Tidak, Anin belum cukup lapang dada menerima hinaan langsung.

"Ayo masuuukkk..." Satya mendorong Anin agar kakinya melangkah masuk. Anin meringis hampir jatuh, Wara menatap Satya berang.

"Nggak usah kasar-kasar dong sama Anin. Lo mau Bang Gio marah?!"

Satya mendesah kasar, lalu meminta maaf pada Anin dengan nada malas.

"Maaf, Anin."

Anin tak mempedulikannya. Satu-satunya saat ini yang ada di pikirannya adalah harus menguatkan hati apapun yang akan terjadi nanti. Ia mulai melangkahkan kaki, dibimbing Om Bram perlahan memasuki rumah. Mereka menuju ke arah ruang keluarga, di mana ada beberapa orang dewasa dan anak-anak berkumpul. Mereka semua menatapnya serentak, membuat Anin meneguk salivanya dengan susah payah. Kakinya bergetar, ia gugup di bawah tatapan orang-orang asing itu.

"Tuan Hanz, ini gadis bernama Anin yang anda suru saya cari tadi," lapor Bram pada Hanz.

Hanz memperhatikan wajah menantunya itu dengan tatapan menilai, sementara Ara--Ibunya Gio--matanya sudah berbinar-binar menatap Anin. Melihat gadis itu mengingatkannya pada dirinya puluhan tahun silam, di mana ia masih jadi gadis polos dan dipenuhi ketakutan saat pertama kali dibawa ke kota. Persis seperti Anin saat ini.

"Mas, panggil dia ke sini, aku udah nggak sabar pengen peluk," bisik Ara antusias pada suaminya.

Hanz mengangguk kemudian berdehem singkat. "Anin, kemarilah," ucapnya sambil berusaha tersenyum. Tapi sayang, nadanya yang kaku malah membuat Anin makin takut.

Ara pun memukul lengan suaminya gemas. "Mas, cara ngomongnya nggak gitu. Dia ketakutan tuh. Biar aku aja deh."

Ara kemudian bangkit dari duduknya lalu berjalan mendekati Anin. Anin mulai waspada di tempat, melirik pada tangan wanita itu yang kosong. Tidak ada cek ataupun uang. Syukurlah, batin Anin.

"Anin sayang, ke sini deh sama Mama, kamu nggak usah takut, nggak ada kok yang akan marahin kamu di sini," ucap Ara lembut.

Anin menatap wanita itu. Entah mengapa perasaan Anin tiba-tiba menjadi lega. Sosok cantik dihadapannya saat ini terlihat keibuan dan sangat ramah. Ia tersenyum membuat Anin pun tak bisa untuk tak ikut tersenyum. Segenap perasaan takutnya hilang tak bersisa.

"Kamu dari mana saja, sayang?" Ara mengelus rambut berantakan Anin.
"Apa kamu lapar?"

Anin menggeleng. Tadi saat di kafe ia sempat menyantap makanan yang diberikan Satya. Jadi Anin masih merasa sedikit kenyang.

"Kalau gitu kamu ikut Mama yah duduk di sana."

Ara membawa Anin duduk di sofa berkumpul dengan para keluarganya. Anin duduk di antara Ara dan Wara yang sudah duduk terlebih dahulu. Sementara Satya, laki-laki itu malah sibuk mengganggu keponakannya yang kecil.

"Jadi kamu sudah menikah dengan Gio, benar sayang?" Ara bertanya, Anin pun mengangguk.

"Kapan itu terjadi?"

"Bulan lalu," jawab Anin kemudian menunduk.

"Bagaimana kejadiannya? Kamu sama Gio nggak benaran berbuat zina kan?"

"Nggak," Anin menggeleng-geleng cepat. Ia tidak berzina dan tak akan melakukannya.

"Oke," Ara mengangguk maklum sembari tersenyum. Ini benar-benar seperti reka ulang kisah masa lalunya.

"Kamu nggak perlu takut sayang, kami nggak marah kok kamu nikah sama Gio."

Anin mulai berani mengangkat kepalanya, menatap Ara dengan tatapan berharap. "Benaran, Tante?"

"Mama. Kamu panggil saya Mama," koreksi Ara.

"Ma-ma?" ucap Anin ragu, Ara mangguk-mangguk.

"Saya mertua kamu, Mama-nya Gio."

Sungguh Anin tak percaya wanita cantik di hadapannya ini adalah Mama dari suaminya. Berapa usia wanita ini? Mengapa dia terlihat seperti anak gadis namun juga terlihat keibuan disaat bersamaan?

"Saya juga berasal dari kampung kamu, Anin. Mungkin kamu pernah dengar cerita seorang gadis yang dinikahkan sama pria dari kota, itu adalah saya."

Yah, Anin sudah mendengar kisah itu dan ia sudah tau. Pantas saja perempuan itu dulu disebut bunga desa, Ibu mertunya ini memang cantiknya tidak tanggung.

"Jadi kamu nggak perlu khawatir, di rumah ini nggak ada yang nggak akan nerima kamu. Termelebih saya pribadi."

"Ma-makasih, Ma."

Ara tersenyum, perasaan Anin lega luar biasa.












____















Jodoh DadakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang