IX - Extra

259 31 4
                                    

"Singto! Singto!"

Kugedor pintu kayu di depanku dengan panik, tak peduli bahwa pagi telah tiba dan banyak manusia di dalam apartemen ini masih ingin menarik selimutnya untuk tidur lima hingga sepuluh menit lebih lama. 

Masa bodoh. Aku hanya ingin bertemu temanku.

Namun bukan temanku yang membukakan pintu, melainkan seorang pria asing berhidung bangir dan bermata bulat dengan poni lurus jatuh di dahinya.

"Hei, kau tahu ini jam berapa?!" serunya dengan mata memerah, mungkin terbangun akibat suara gedoranku.

"Aku mencari Singto," jawabku, menyalakan nyaliku yang sempat ciut akibat seruannya. "Kudengar dia ada di sini."

Selepas bertemu Tay, aku segera menghubungi Godji dan menanyakan keberadaan Singto. Di saat seperti ini, aku butuh seseorang yang bisa kuajak bicara dan yang terpikir olehku adalah Singto. Aku tak menyadari bahwa ia belum pulang selama beberapa hari. Aku terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri dan lupa berbaikkan dengan temanku.

Tapi apakah Godji salah memberiku alamat? Aku sudah berulang kali mengecek alamat yang ia berikan dan kurasa tidak ada yang keliru.

"Singto? Ada apa men - "

" - siapa, Kit?"

Di balik pria asing (dan galak) tadi, kulihat sosok temanku dalam balutan selimut putih di pinggangnya. Rambut Singto tampak berantakan, sementara kedua matanya masih setengah tertutup. 

Aku tak bisa menahan kekagetanku. "Singto?!"

Kedua mata Singto terbuka mendengar teriakanku. Ia sepertinya tak kalah terkejutnya. "New?!"

***

"Jadi kau bilang begitu padanya?" tanya Singto, kali ini sudah berbusana lengkap, ketika kami berbincang di pinggir kolam renang. Ternyata ke sinilah Singto membawaku saat pingsan karena menyelamatkan Tay, pantas saja terlihat tak asing.

Aku mengangguk, lalu mempersiapkan diri mendengar omelan temanku. "Harusnya aku bilang, 'Aku hanya manusia biasa, Tay, sama sepertimu', bukan? Entah kenapa aku tidak memikirkan jawaban semudah itu," ucapku.

Singto menghela napas. "Kau sudah bicara pada Godji?"

"Belum," jawabku. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana."

"Coba kulihat matamu," ucap Singto. Jemarinya menyentuh daguku untuk mengangkat wajahku. "Sebenarnya kau bukan [pembantu] dewa kematian pertama yang menangis. Tapi ini tetaplah kasus langka."

"Aku tidak mau menangis lagi, suasana hatiku jadi tidak karuan karenanya," gerutuku. 

Temanku menepuk dahiku pelan. "Makanya jangan jadi manusia."

"Singto."

"Ya?"

"Maaf."

Bibir temanku menyimpulkan sebuah senyuman, kemudian tangannya mengacak-acak rambutku. 

Kami berdua lalu terdiam, namun keheningan tak berlangsung lama karena suara perutku merusak segalanya. 

KRIUUUUUUKKK... KRUUUUKKKK...

"Kau mau sarapan bersama kami?" tanya Singto seraya menunjuk ke arah pintu masuk ke apartemen.

"Tidak apa-apa?" balasku, segan jika harus bertemu pria galak tadi.

"Tidak apa-apa, masakan buatan Kit cukup enak kok," kata Singto, kemudian terbangun dari pinggir kolam renang. 

"Bukan itu maksudku..." bisikku, lalu berdiri dan mengikuti temanku masuk ke apartemen.






© Cover: __singto on Instagram 

Eternity | a Tay New storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang