---

224 33 2
                                    

"Kau gila! Kau tahu berapa peraturan yang telah kau langgar karena membawa jiwa manusia yang masih hidup ke sini?"

Ah, desahku jengkel. Suara sumbang itu lagi. 

Aku duduk bersandar dengan kaki bersilang di hadapan meja kerja rekanku, sementara kedua tanganku terlipat di depan dada. Aku menanti omelan-omelan selanjutnya. 

"Jika Sang Pencipta tahu kalau kau melanggar siklus hidup-mati manusia, kau bisa dihukum lebih berat dari sekarang."

Kuperhatikan ibu jari tangan kananku yang bergerak menyentuh jemari lain. Tampaknya aku harus pergi ke salon sehabis urusan ini selesai. Kenapa sih menjadi manusia harus direpotkan oleh urusan kuku atau rambut yang bertumbuh sekian milimeter per-harinya? 

"Apa tujuanmu membawa jiwa Tay ke sini?"

"Apa kau yakin ia masih bisa kembali ke raganya?"

"Apa kau sudah memberitahu risiko yang terjadi jika jiwanya sampai ke sini?"

"Jawab pertanyaan kami!"

Kutatap wajah Godji dan Arm satu-persatu, lalu mengangkat kedua bahuku. "Aku menunggu kalian selesai berkicau," jawabku.

"Jawab sekarang juga, Off," kata Godji yang kesabarannya tampak hampir di ujung tanduk. Tatapannya menajam ke arahku, mencoba menggentariku. 

Aku menghela napas. "Pertama, ya, aku tahu ada 10 peraturan yang telah aku langgar karena membawa jiwa manusia hidup ke sini. Kedua, Sang Pencipta tak mungkin tahu jika kalian tidak memberitahu-Nya, 'kan? Jikalau Dia ingin menghukumku lebih berat lagi, silakan, tapi aku hanya ingin mempercepat proses," jelasku seraya sesekali melihat dua rekanku yang masih dikuasai emosi. "Tiga, tujuanku membawa Tay adalah untuk mempercepat rencana dan proses yang telah kita putuskan. Apa kalian sudah lupa? Dan, empat, kemungkinan Tay untuk kembali ketubuhnya 50:50 dan tentu saja ia tidak kuberitahu risikonya. Jika kuberitahu, pria itu mungkin takkan mau ke sini."

Godji melongo melihatku setelah mendengar penjelasanku. "Kenapa kau tega melakukannya, Off?"

"Untuk tindakan yang mana - aku membawa Tay ke sini atau aku tidak memberitahu risikonya?" balasku dengan kedua alis terangkat.

Belum sempat Godji melanjutkan tuduhannya, Arm memotong, "Kau bicara tentang proses. Proses mana yang kau maksud?"

Aku tertawa terpingkal-pingkal hingga suaraku menggema ke seluruh penjuru ruangan Godji. Entahlah, barangkali dua rekanku ini mengalami cedera otak atau pura-pura tidak ingat.

"Proses New," jawabku setelah berhasil menguasai diri (dan tidak ada yang turut tergelak setan bersamaku). "Mau sampai kapan ia bekerja di sini? Kalian tidak iba dengannya? Atau malah memanfaatkan etos kerjanya?"

Godji dan Arm saling membisu. Sepertinya mereka ingat akan ketetapan mereka berpuluh-puluh tahun silam.

"Aku telah menunggu dengan sabar tindakan kalian selanjutnya, namun nihil. Jadi kubawa Tay ke sini untuk memperlekas semuanya," imbuhku. "Kupikir kematian Lee seharusnya menjadi peringatan dari Sang Pencipta untuk kalian."

"Kurasa ini bukan waktu yang tepat," ujar Arm yang hari ini mengenakan busana kebesarannya - celana dengan jubah putih yang amat panjang hingga bisa dijadikan selimut atau karpet ruang tamu.

Kulihat wajahnya lekat-lekat. "Lalu, menurutmu kapan waktu yang tepat? 100 tahun lagi? 1000 tahun lagi?"

Keduanya terdiam kembali, membuatku bosan dengan kebimbangan mereka. Waktunya keluar dari ruangan ini dan istirahat sebentar di perpustakaan. 

"Jika kalian ingin mengadukanku pada Sang Pencipta, lakukan saja," ucapku seraya beranjak dari bangku tempatku duduk tadi. "Aku sudah dihukum menjadi semi-manusia tanpa ada peninjauan kembali dan batas pasti. Tidak ada hukuman yang lebih buruk dari itu."

Namun belum sempat aku keluar ruangan, suara Godji menghentikanku. 

"Kita harus mengadakan rapat darurat sekarang."





Credit photo cover: Tumcial on Instagram (https://www.instagram.com/p/B60JEkCnBMr/)

Eternity | a Tay New storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang