VII

270 38 7
                                    

KRRIUUUKK... KRRUUUKKK...

Mana ada orang yang terbangun akibat suara perutnya yang keroncongan?

Tentu saja ada dan itu aku. 

Jika Tay, laki-laki berpiama biru yang sedang memperhatikanku dari ranjangnya, boleh dimakan, aku takkan segan melahapnya. Namun masalahnya bukan itu. 

Tay terlihat berang, seakan siap menikamku jika aku bergerak seinci saja. Aku hanya menunduk, berharap agar dapat menghilang dari hadapannya (aku bisa saja melakukannya, tapi aku tidak mau membuatnya pingsan untuk kedua kalinya).

"Apa yang kau lakukan di sini?" ulang Tay.

Pandanganku beralih ke sepiring apel dan pisang yang ada di meja di samping kasurnya. "Aku boleh minta apelmu?"

"Kenapa kau bisa ada di sini?" balas Tay lagi, tidak mengindahkan pertanyaanku.

KRRIUUUKK... KRRUUUKKK...

Kupandangi sumber suara tersebut, lalu kutatap sekaligus kuisyaratkan belas kasihan dari kedua mata Tay - yang tentu saja tidak kudapati. Tanpa pikir panjang, kuraih salah satu apel yang ada di atas piring. Kukoyak dan kutembus kulit merah buah itu dengan gigi-gigi depanku, kemudian kukunyah dagingnya yang agak empuk dengan gigi gerahamku. Rasa manis masam yang segar bercampur imbang di lidahku.

Selesai menghabisi buah tersebut, kulihat Tay tetap di posisinya. Memperhatikanku.

Aku berdeham. "Maaf, aku sangat lapar," ucapku. "Dan maaf juga karena sudah membuatmu kaget. Semalam aku ingin menjengukmu, tapi kau sudah tidur. Jadi kuputuskan untuk bermalam di sini."

Aku tidak sepenuhnya bohong. Semalam, setelah menemui Mild di lobby rumah sakit, aku sengaja minta izin untuk tidak kembali bersama rombongan ke pemakaman. Barangkali aku merasa iba pada laki-laki yang tidur sambil menangis sendirian di kamar rawat, ditambah lagi ia telah kehilangan kekasihnya. 

Barangkali.

Aku tidak mungkin membangunkan Tay pada saat itu, jadi kuputuskan untuk mengambil bangku dan duduk di situ dengan harapan aku bisa menjelaskan semuanya saat pagi tiba. Ternyata aku ketiduran dan bangun lebih lama darinya. 

"Aku tidak butuh dijenguk siapapun," katanya, tajam. "Cepat pergi dari sini, aku tidak mau diganggu."

Entah kenapa perkataan Tay yang sempat terdengar sengit tidak terlalu berefek lagi bagiku, seolah aku sudah meramalkan ia akan mengeluarkan kalimat-kalimat pedas saat kami bertemu. Atau mungkin saja hatiku sudah kebal.

"Aku yang butuh menjengukmu, Tay," ucapku. "Aku butuh tahu bahwa orang yang kuselamatkan baik-baik saja."

"Sudah kukatakan kalau - "

" - yang menyelamatkanmu adalah Lee," potongku, agak kecewa. "Ya, aku tahu, Tay."

"Selamat pagi."

Terdengar suara ramah dari arah pintu, lalu dua orang perawat memasukki ruangan. Mereka membawa wadah tempat menaruh obat-obatan, termometer, botol infus dan jarum suntik. Mereka lebih dulu mendekati ranjang Tay dan nampak tercengang ketika mendapatiku.

"Wah, ternyata Bapak Vihokratana sedang ada penjenguk," tutur salah satu perawat seraya mengecek selang infus yang terhubung ke punggung tanganTay. 

"Suhu tubuhnya 37.5°C ya, Pak," kata perawat yang satunya lagi setelah mengukur suhu tubuh Tay dengan termometer. 

Selepas menginformasikan tentang menu sarapan dan jadwal kedatangan dokter serta mencatat sesuatu di papan observasi kondisi pasien, keduanya mengucapkan terima kasih dan beralih ke pasien yang ada di sebelah Tay. 

Eternity | a Tay New storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang