XVI

184 30 8
                                    

"Tay!" 

Aku memekik setelah berhasil menembus pintu yang ternyata membawaku ke kamar mandi. 

Laki-laki itu sedang berdiri di depan cermin, salah satu tangannya memegang pisau cukur yang mata pisaunya berselimut krim putih. 

Krim tersebut juga menutupi dagu serta kedua pipinya, namun salah satu sisinya telah tercemar noda merah. 

Aku bergegas mendekatinya, namun belum sempat aku mengambil pisau tersebut dari tangannya, Tay sudah membalikan tubuhnya ke arahku. 

Kini dapat kulihat dengan jelas bahwa noda merah tadi adalah darah. Cairan biram itu mengalir perlahan menuruni lekukan dagu Tay, menodai krim putih di sekitarnya dan meninggalkan jejak kemerahan di wajah laki-laki itu. 

Tubuhku seketika menegang dan dadaku sesak hingga aku sulit bernapas. Walau perhatianku hanya terpusat pada warna tersebut, namun banyak hal menyergap pikiranku hingga rasanya kepalaku mau pecah.

Tetapi sebuah jeritan sedikit menyadarkanku. 

Pandanganku sedikit demi sedikit berpindah ke bibir Tay yang ternyata adalah sumber jeritan itu.

"New! Pakai celanamu!"

***

Tanganku gemetar saat mengangkat gelas dari atas meja lantaran sepasang mata tengah menatapku tajam, seolah sang pemilik mata ingin menusukku hingga aku terkapar saat itu juga.

Kuletakkan kembali gelas itu ke atas meja. Lebih baik aku diam dan tidak melakukan apa-apa. 

Selepas insiden tadi, Tay langsung mengusirku dari kamar mandi. Laki-laki itu terluka karena mata pisau cukurnya terlalu tajam dan ia hendak membersihkan lukanya, namun aku mendadak muncul dan mengagetkannya - lebih tepatnya, aku tidak sadar bahwa aku sudah memadatkan diri dan...

Aku tidak perlu menceritakan kelanjutannya, 'kan? 

Intinya aku sudah berpakaian lengkap sekarang. 

"Ehem," sebuah suara muncul dari laki-laki yang kini duduk di hadapanku. Selapis plester telah tertempel di pipi kirinya. 

"Aturan pertama," ucapnya seraya mengatur napasnya yang memburu, sementara salah satu tangannya mengepal di samping tubuhnya. "Jangan pernah menembus pintu, jendela, dinding, atau apapun yang ada di rumah ini."

Aku mengangguk tanpa mau melihat wajahnya. 

"Aturan kedua," tambahnya. "Kau hanya boleh di sini saat sarapan bersama Neen, selebihnya kau harus pergi."

Mataku segera beradu pandang dengannya. "Ta-tapi Tay..."

Sadar tidak ada respons dari laki-laki itu, maka aku kembali menunduk. 

"Aku hanya takut kau terluka," ucapku, bersungut-sungut.

Tay bergeming selama beberapa waktu setelah mendengar ucapanku.

"Aku bahkan tidak tahu mengapa kau kembali. Bukankah seharusnya kau pulang setelah mengantar Neen?" tanya Tay, kedua tangannya terlipat di depan dadanya. Sepertinya ia tidak ingin membahas luka di wajahnya. 

"Aku..." mataku mencari-cari alasan agar Tay tidak curiga. 

Selepas mengantar Neen pergi, ia mengirim pesan singkat ke telepon genggamku yang isinya supaya aku tidak memberitahu Tay tentang percakapan kami barusan. Tentu saja perempuan itu akan merahasiakan segala kebaikan dan kasihnya pada Tay. 

Pandanganku mengarah ke tanaman kecil milik Neen yang berdiri anggun disinari matahari. 

"Aku ingin melihat tanaman Neen sekali lagi," jawabku, lalu tersenyum lebar agar Tay percaya.

Eternity | a Tay New storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang