V

301 44 7
                                    

Aku penasaran dengan apa yang terbayang di pikiran manusia menjelang akhir hayatnya. Apa mereka mengulang kenangan paling indah atau mengingat orang-orang tersayang semasa hidup? 

Setahuku, berdasarkan dugaanku dan Singto, memori yang terlintas di benak manusia sewaktu mendekati ajal adalah memori yang krusial karena sebagian besar dari manusia akan mengingat hal yang sama terus-menerus, bahkan ketika menghadap Gerbang Akhir.

Memori bisa menyesatkan, memenjarakanmu dalam pusaran tanpa akhir. Akan tetapi memori juga dapat membawamu ke jalan yang lebih baik. 

Barangkali. 

"Di mana Tay?!" aku setengah berteriak seraya mendarat di salah satu sisi jembatan. 

Rekanku, Singto, yang saat itu telah berada di lokasi, melirik ke arah sungai. Tanpa pikir panjang, aku langsung meluncur ke sana.

Mataku awas mencari sosok familiar di antara gelembung-gelembung udara, namun pencarianku terasa semakin sulit akibat derasnya arus dan minimnya cahaya. 

Kumohon, harapku dalam hati sambil terus memeriksa sekelilingku. Siapapun Kau yang ada di sana, bantu aku mencari Tay. Aku ingin menepati janjiku.

Di tengah penyelaman, secercah sesal muncul karena selama ini aku telah mengabaikan Tay. Aku tahu aku sudah berjanji pada Lee untuk menjaga kekasihnya, tapi entah mengapa aku selalu enggan berada di dekat laki-laki itu. Seakan ada sesuatu yang membuatku tidak mau menemuinya.

Aku berenang ke permukaan untuk mengambil napas karena aku butuh oksigen setelah memadatkan sosokku. Tetesan-tetesan air sungai memaksa masuk ke hidung dan mulutku, menimbulkan rasa tidak nyaman dan sesak. Kemudian aku kembali menyelam dan berenang beberapa belas meter menjauhi jembatan untuk mencari Tay.

Tak lama kemudian sudut mataku menangkap setitik binar di sebelah kiriku. Ketika kudekati, binar tersebut bersumber dari sebuah benda kecil yang tersangkut sesuatu yang panjang dan, setelah kutelusuri sumbernya dengan saksama, ternyata itu adalah rantai kecil yang mengalungi leher seseorang.

Tay!, jeritku dalam hati. Ia bergeming dengan kedua mata yang terpejam dan tubuh yang tunduk terhadap arus. Kupeluk tubuhnya, lalu berusaha kubawa ia ke permukaan. Tetapi derasnya arus membuat usahaku sia-sia. 

Sontak kulihat benda berbentuk bulat  mendarat di dekatku, sepertinya itu pelampung. Kuraih benda tersebut, kemudian kupegang erat-erat hingga aku merasa tubuhku ditarik melawan arus. 

***

"Kau tahu kalau tindakanmu tadi bodoh, 'kan?" kudengar suara Singto di sisiku.

Tak banyak yang kuingat setelah berhasil menarik Tay ke permukaan. Yang jelas, kulihat kedipan cahaya merah-biru yang semakin lama semakin kentara, lalu tiba-tiba wajah Singto ada di hadapanku sebelum semuanya menjadi gelap.

Ketika mataku terbuka, aku telah berada di pinggir kolam renang dengan pemandangan gedung bertingkat di atasku. Baju dan rambutku kuyup, tubuhku yang menggigil terasa lunglai seakan seluruh tenagaku hanyut terbawa arus sungai. 

"Ki-kita ada di... mana?" tanyaku disertai suara gemeretak gigi-gigiku sendiri. "T-Tay?"

"Tay sudah ditangani di rumah sakit," jawab Singto. "Kau kubawa ke apartemen salah satu temanku - meskipun hanya kolam renangnya."

Hatiku belum terasa lega. "Ta-tapi... dia masih... hi-hidup, 'kan?"

Singto menghembuskan napas panjang. "Daripada mengkhawatirkan dia, lebih baik kau khawatirkan dirimu sendiri dulu."

Dahiku berkerut mendengar perkataannya. 

"Godji ingin bertemu denganmu besok di ruangannya," ucap Singto. "Dia ingin membicarakan peristiwa tadi."

Kerutan di dahiku belum menghilang, tanda bahwa aku menginginkan jawaban lebih darinya, namun rekanku malah tertawa kecil.

"New, New," rekanku menggelengkan kepalanya. "Selama menjadi rekanmu, baru kali ini aku melihatmu melakukan tindakan ceroboh."

"Maksudmu?"

"Pertama," jawab Singto sambil mengacungkan jari telunjuknya. "Kau tahu 'kan prosedur penyelamatan orang tenggelam tidak seperti itu? Bukankah kita pernah mempelajarinya sewaktu masa percobaan?"

Kepalaku mengangguk lemah. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini.

"Kedua," tambah Singto. "Aku tahu kau berjanji dengan - siapa itu namanya - untuk menjaga Tay, tapi aku tidak menyangka kau akan melangkah sejauh ini."

"A-aku sudah... berjanji, Si-Singto."

"Iya, tapi apa kau harus menepatinya?" balasnya. "Lagipula dia sudah pergi. Selamanya. Tidak mungkin dia akan muncul mendadak untuk menagih janjimu."

***

Rumah sakit tempat Tay dirawat berlokasi tidak jauh dari jembatan. Saat ini kudengar laki-laki itu sudah dipindah ke ruang perawatan karena kondisinya semakin stabil. 

Langkahku terasa canggung mengikuti salah satu perawat yang bertugas pagi itu. Kami sedang melewati pintu demi pintu menuju kamar rawat Tay. 

Aku memutuskan untuk menjenguk Tay dan memastikan bahwa kondisinya baik-baik saja. Singto menyarankanku untuk membawa sesuatu ketika mengunjungi orang sakit, tapi karena aku tak tahu harus membawa apa, kuputuskan untuk datang dengan tangan kosong. Toh jika Tay butuh sesuatu, aku bisa membelikannya (dengan uang Singto yang kuambil diam-diam).

Selepas pertemuanku degan Tay nanti, aku berencana untuk menemui Godji dan menjelaskan secara jujur apa yang kurasakan pada hari itu. Kuharap atasanku mau mengerti. 

Debaran jantungku menjadi lebih cepat ketika kami memasukki sebuah ruang perawatan. Di sana hanya ada dua tempat tidur kosong, sementara tempat tidur paling ujung ditutupi tirai biru. 

"Selamat pagi, Bapak Vihokratana," sapa sang perawat dengan ramah, lalu menyibak tirai biru yang membatasi ranjang Tay dengan ranjang lain. "Ada seseorang yang ingin menemuimu."

Aku berdiri di ujung ranjang Tay, tepatnya di depan papan observasi kondisi pasien, dengan harap-harap cemas. Kemungkinan bahwa Tay ingat kejadian malam itu sangat kecil, namun aku tak memungkiri bahwa aku ingin laki-laki itu ingat, meskipun hanya berupa potongan-potongan kecil. 

"Siapa dia?" 

Tay duduk bersandar di ranjangnya dengan mengenakan seragam pasien warna putih berlogo rumah sakit. Di pangkuannya terlihat sebuah buku bersampul putih yang tertelungkup. Ia menatapku tajam, kontras dengan tatapannya ketika kami bertemu pertama kali di lorong rumah sakit. 

Tay yang berada di hadapanku sekarang nampak asing.

"Dia yang menyelamatkan Bapak malam itu," sahut sang perawat dengan nada yang tetap ramah sambil melirik ke arahku.

"Hai," sapaku dengan senyum sehangat mungkin. "Aku New."

"Sudah berapa kali aku bilang bahwa yang menyelamatkanku adalah Lee," tandas Tay, kemudian mengarahkan telunjuknya padaku. "Bukan orang asing ini."

Senyumku seketika memudar. Dadaku terasa aneh - mungkin sakit? Tapi sakit kali ini bukan sakit yang mematikan, hanya saja rasanya sesak dan ada sesuatu yang mengganjal.

"Oh, sepertinya dia tidak ingat," kataku beberapa detik setelah sedikit meredam rasa aneh di dadaku. Kulihat laki-laki berambut hitam itu dengan jengkel. "Aku ke sini hanya memastikan bahwa kau baik-baik saja, Bapak Vihokratana. Teruslah bermimpi bahwa Lee yang menyelamatkanmu."

Selepas mengucapkan kalimat terakhir, aku segera berlari keluar ruangan. Persetan dengan sang perawat  yang terus-menerus memanggil namaku. Aku bersumpah tidak akan menjenguk laki-laki arogan seperti Tay. Mendengar namanya saja membuatku gusar. 

Ini adalah pertemuan terakhir kami. Jangan harap aku mau menemuinya lagi. 

Eternity | a Tay New storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang