II

455 47 4
                                    

Lee menghilang sedikit demi sedikit, dimulai dari ujung jemari tangannya lalu berakhir di wajahnya, disertai percikan-percikan cahaya seolah ia dikerubungi kunang-kunang.

Kububuhkan tanda "✓" ke berkas milik Lee, lebih tepatnya di samping fotonya yang berukuran 4x6, sebagai tanda bahwa salah satu tugasku sudah selesai hari ini. Tugasku selanjutnya adalah mengantar jiwa-jiwa yang telah kuambil ke Gerbang Akhir, lalu aku berencana pergi ke kantor salah satu atasanku, Godji, untuk meminta umpan balik atas pekerjaanku selama setahun.

Namun, belum sempat aku terbang menembus atap rumah sakit, seorang laki-laki berlari menembusku.

Jika kalian penasaran bagaimana rasanya jika ditembus, rasanya seperti... beberapa bagian tubuhmu tercerai-berai, lalu menyatu kembali dalam hitungan detik. Tidak menyakitkan, namun tetap tidak nyaman.

"Pembunuh!" ayah Lee berteriak sambil menghampiri Tay yang masih terisak di tempat semula. Tangannya lalu mencengkeram kerah jubah putih Tay hingga stetoskopnya jatuh ke lantai marmer, menciptakan gema di seluruh lorong. "Kau apakan anakku? Kau membunuhnya karena tidak ingin ia menikah dengan Jane, 'kan?"

Seakan tidak berdaya, Tay hanya terdiam dan tentu membuat ayah Lee marah. Ia pun menerima pukulan di pipinya hingga ia terjerembap. "Kau yang lebih pantas mati dibanding dia!" teriak ayah Lee lagi dengan suara bergetar.

Ingin sekali kuberitahu laki-laki itu bahwa manusia tidak memiliki hak untuk menentukan mana yang "pantas mati" dan mana yang "tidak pantas mati". Itu semua hanya berasal dari ego mereka.

Tay berusaha bangun dari lantai, kemudian berlutut di hadapan ayah Lee. "Aku minta maaf," ucapnya di sela-sela tangisannya sambil menyatukan dua tangannya di depan dadanya. "Maafkan aku."

Cukup sudah. Aku tidak mau terlibat lebih jauh, lagipula ini bukan urusanku. Manusia memiliki masalah masing-masing yang harus diselesaikan oleh mereka sendiri.

Aku hampir mengapung di udara, tapi mendadak dihentikan oleh suara Lee.

"Tolong jaga Tay."

Aku terdiam, lalu menoleh ke semua arah. Lee harusnya sudah tidak ada. Dia sudah bergabung dengan jiwa-jiwa lain yang menunggu giliran ke Gerbang Akhir. Tapi aku masih bisa mendengar permohonannya dengan jelas.

"Hm," gumamku. Mungkin aku harus pergi ke klinik nanti sebab rasanya ada yang tidak beres dengan pendengaranku.

"Jangan sampai dia menyalahkan dirinya atas kepergianku."

Suara itu muncul lagi entah dari mana dan membuatku kesal.

"Baiklah, Lee, kau dapat apa yang kau inginkan," tukasku sebelum melayang ke kamar ganti karyawan.

***

Setelah memadatkan diri dan mengambil jas salah satu dokter yang tergantung di dalam kamar ganti, aku berlari ke lorong tadi dan mendapati Tay ditendang bertubi-tubi oleh ayah Lee. Segala perkataan buruk keluar dari bibirnya yang keriput – akan kupastikan semua kalimat yang ia ucapkan dicatat oleh salah satu rekan kerjaku. Aku tidak sabar untuk mengulang kalimat yang sama ketika mencabut nyawanya nanti.

"Hei, hei!" teriaku sambil menjauhkan ayah Lee dari Tay yang tertelungkup di atas lantai.

"Dia pembunuh! Dia membunuh anakku!" teriak ayah Lee yang meronta-ronta di hadapanku.

"Dokter Tay sudah berusaha sebaik mungkin!" seruku seraya menatap kedua matanya dengan tajam. "Dan saya bisa melaporkan anda ke polisi karena sudah menganiaya salah satu dokter di rumah sakit ini."

Ayah Lee terdiam, meskipun api kemarahan masih berpijar di kedua matanya. Ia mendorongku dengan kasar, lalu menghilang di balik pintu UGD. Dia sungguh membuatku jengkel.

Eternity | a Tay New storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang