---

193 22 3
                                    

Suatu waktu di tahun 1990-an


Pekerjaanku membawaku bertemu manusia-manusia yang sudah meninggal. 

Rata-rata mereka pergi dengan penuh penyesalan. Ada yang menyesal belum menyatakan perasaannya pada orang-orang yang mereka sayangi, menyesal karena beradu mulut dengan orang yang mereka kasihi, dan menyesal belum sempat bertemu dengan insan hidup yang mereka cintai. 

Semua tangisan, keluhan, dan permohonan mereka ibarat irama merdu di telingaku.

Tentu saja aku tidak bisa menuruti semuanya. Manusia sering salah kaprah. Aku ini hanya pembantu dewa kematian, bukan jin pengabul permintaan.

Ups, bukan, aku bukan pembantu dewa kematian lagi.

Ehm. 

Jabatanku kini adalah koordinator pembantu dewa kematian. Aku baru naik pangkat tiga hari lalu setelah masa percobaan dua minggu, jadi maklumi saja ya. 

Tugasku lebih dari sekadar menjemput jiwa dan melabuhkannya ke Gerbang Akhir. Aku harus mengalokasikan tugas ke ratusan pembantu dewa kematian, mencatat jumlah jiwa yang berhasil kami cabut serta antar ke Gerbang Akhir, dan membuat laporan evaluasi harian. 

Sebulan sekali aku akan rapat bersama koordinator pembantu dewa kematian lainnya untuk membahas capaian bulan itu.

Terdengar merepotkan, ya? 

Aku bangga dengan pencapaianku hingga sejauh ini, namun terkadang rasa bangga itu berubah menjadi rasa muak karena harus melakukan hal yang sama berulang-ulang.

Yah begitulah.

Akhir-akhir ini jumlah pembantu dewa kematian menurun sebanyak 5-10%. Salah satu rekanku, Arm, mengatakan itu hal biasa yang terjadi di bulan-bulan tertentu. 

Ada banyak alasan mengapa hal itu terjadi, salah satunya adalah ada segerombolan pembantu dewa kematian yang akhirnya menyeberangi Gerbang Akhir untuk menjalani proses selanjutnya. Umumnya hal itu terjadi di bulan Juli dan Agustus. 

Berkurangnya jumlah pembantu dewa kematian akan memengaruhi tugasku. Aku harus lebih sering terjun ke lapangan untuk langsung menangani beberapa jiwa. 

Salah satunya adalah dini hari ini, tepat pukul 03:00.

Sudah setengah jam berlalu dan aku masih duduk di pinggir trotoar yang lengang. Embusan angin yang kencang berkali-kali meniup rambut serta ujung kemeja hitam yang kukenakan. 

Aku sengaja memadatkan diri karena setelahnya aku harus buru-buru ke stasiun, tepatnya ke salah satu pedagang di sekitarnya, untuk membeli mi kuah pedas yang terkenal. 

Menurut informasi yang kudapat dari salah satu jiwa yang telah menyeberang ke Gerbang Akhir, mi kuah pedas itu begitu lezat hingga membuatnya menyesal tidak sempat menyantapnya sebelum pergi. 

"Tapi kau harus cepat-cepat pergi ke stasiun karena mi kuah pedas itu begitu laku," katanya di bibir Gerbang Akhir waktu itu. 

"Pukul berapa aku harus tiba di sana?" tanyaku, berusaha tidak mengindahkan Arm yang menatapku tajam dari pinggir pintu gerbang.

"Pukul lima. Kau harus tepat waktu karena biasanya makanannya akan habis pukul enam," jawabnya, sebelum jiwanya didorong Arm untuk kemudian dilahap oleh kegelapan Gerbang Akhir.

Jika jiwa yang kutunggu-tunggu belum juga muncul hingga pukul 04:30, aku akan menyerahkan tugas ini ke salah satu bawahanku.

Baru saja aku memikirkan pembantu dewa kematian mana yang akan kuutus, mendadak terdengar suara benturan yang keras di hadapanku.

Eternity | a Tay New storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang