---

117 21 2
                                    

Aku menarik kerah baju Non sambil menyusuri lorong yang hanya diterangi sinar rembulan redup. Bayangan tiang-tiang terali dari tiap bilik yang kami lewati seakan mengantar kami menuju bilik terakhir di ujung lorong. 

Sesampainya di bilik terakhir itu, aku melepaskan cengkeramanku hingga Non tertumus tepat di hadapan jeruji. 

Di salah satu sudut bilik tersebut tampak siluet seseorang yang duduk memeluk kedua lututnya. Tidak ada suara apapun bersumber darinya, maupun dari bilik-bilik lainnya.

Hening dan ganjil. Begitulah suasana di Penampungan ini. Jiwa-jiwa manusia yang dinilai pantas menjadi pembantu dewa kematian dikumpulkan di area ini. Mereka "dilatih" agar saat keluar dari Penampungan nanti, mereka sudah "siap" bekerja sebagai pembantu dewa kematian.

Hanya beberapa petinggi dan petugas keamanan yang tahu akan area ini. Kami juga diberi titah agar tidak sembarangan membicarakannya. 

Penampungan ini juga bukan tempat yang menyenangkan. Aku beruntung saat itu berhasil bertemu Arm dan kami menjadi teman sekaligus rekan kerja dalam waktu singkat, sehingga perihnya proses yang harus kami jalani terasa jauh lebih ringan.

"Cepat bicara, waktumu tidak banyak," ujarku, sesekali melirik ke arah pintu masuk.

Aku sudah masuk ke pikiran petugas yang berjaga di Penampungan saat ini, sehingga mereka bisa dipengaruhi dengan mudah. Tapi tentu saja hanya perlu waktu sebentar sebelum petugas lainnya curiga.

"Ter..." bisik Non seraya bangkit dari posisinya. "Ter... ini aku."

Siluet itu bergerak, lalu pelan-pelan merangkak keluar dari sisi gelap ruangan dan berhenti di depan Non yang bersimpuh. 

Ter yang ada di hadapanku saat ini jauh berbeda dengan Ter yang kusaksikan di pikiran Non. Raut wajahnya muram dengan garis hitam di bawah kedua matanya. Ia juga lebih kurus dengan kulit pucat kelabu di bawah terang bulan. Tidak ada senyum hangat yang muncul dari bibirnya saat melihat Ter. Ia hanya membisu. 

"Ter," kata Non dengan nada bingung. "Aku Non."

Ter menatap Non dengan tatapan kosong. Aku ingin menyela pertemuan mereka, namun ini bukan saatnya.

Punggung Non bergetar, namun ia masih menahan air matanya dengan sekuat tenaga. 

"Aku Non, temanmu di desa dulu. Kita sering bermain bersama, memancing ikan bersama. Aku kerap mencuri buah untuk kita makan bersama, walau kau melarangku," katanya dengan sedikit senyuman di bibirnya. "Aku memberimu bunga saat kau ulang tahun dan kau menyukainya. Kau ingat, 'kan?"

Sadar bahwa tidak satupun kalimatnya tersampaikan ke pikiran dan hati Ter, tangis Non langsung pecah. "Apa yang terjadi padamu, Ter?" ujarnya di sela-sela isakannya. "Maafkan aku, maafkan aku..." 

"Dia sudah tidak ingat," kataku. 

"...maksudmu?"

Aku melangkah maju dari tempatku semula. "Ingatannya sudah dihapus," sahutku, bercangkung di samping Non.

Tanpa menghiraukan ekspresi penuh pertanyaan di wajah Non, kudekatkan ujung telunjukku ke dahi Ter. Aku harus turun tangan agar mereka tidak ketahuan dan Non bisa pergi ke Gerbang Akhir secepatnya.

Tidak lama kemudian, secercah binar hidup muncul di kedua mata Ter. Walau sedikit, namun binar tersebut seolah memberi harapan untuk Non.

"N-Non..." 

Suara parau Ter terdengar lemah. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali seakan ia tidak percaya bahwa Non ada di hadapannya.

Tangan Ter perlahan menggapai ke arah Non melalui sela-sela jeruji, lalu disambut oleh genggaman Non. 

"Iya, aku Non," kata Non dengan air mata yang masih mengalir.

"Maafkan aku," lanjut Ter di tengah-tengah tetesan air matanya. "Aku harusnya menunggumu, maaf aku tidak bisa. Aku tidak bisa..."

Aku berdehem untuk mengingatkan Non bahwa waktunya tidak banyak. 

"Ter," Non melepaskan genggaman tangannya, lalu pindah ke salah satu pipi Ter. Ibu jarinya menyeka air mata di pipi laki-laki pucat itu. "Aku akan kembali - "

" - tapi Non - "

"- aku akan kembali dan kita pasti akan bertemu lagi. Aku janji."

Ter terdiam, dan membalas ucapan Non dengan anggukan kecil.

"Aku mencintaimu Ter," tutur Non, suaranya bergetar lagi. 

"Aku - "

Secercah cahaya yang terangnya mampu menusuk mata mendadak muncul dari atas kami, kemudian meluas ke bagian lainnya di lorong ini. 

Di tempat ini, cahaya bukanlah pertanda yang baik. 

"Off! Kau gila!" suara Arm terdengar beriringan dengan derap langkahnya ke arah kami. Kemunculannya cukup dramatis berkat jubah putihnya yang bergerak mengikuti arah angin. 

"Arm," tuturku sembari berdiri di antara ia dan Non. "Aku bisa jelaskan."

"Bukan aku yang butuh penjelasanmu, Off," kata Arm setelah menghembuskan napas panjang. Ia menatapku selama beberapa detik, mungkin mencoba merangkai kalimat yang baik untuk diteruskan padaku. 

Ah, gumamku. Inilah saatnya.

"Arm," kataku, berupaya mengulas senyuman. Barangkali ini senyuman yang terakhir untuknya. "Senang bekerja sama denganmu selama ini."

Aku menarik paksa kerah baju Non, lalu menyeretnya menuju pintu tempat kami masuk tadi. Arm tidak mencegah kepergianku, ia hanya terpaku berdiri di tempatnya semula. 

Aku tidak menyalahkannya karena ini keputusanku. 

Apapun yang terjadi nanti, akulah yang harus menanggungnya. 





Cover: © Tumcial

Eternity | a Tay New storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang