X

205 29 0
                                    

"Hai, waktumu sudah habis," ujarku pada sosok pria setengah baya yang melayang turun dari sebuah sedan hitam. Ia mengenakan busana serba putih khas para jiwa yang baru saja keluar dari tubuhnya. Wajahnya pucat dan kedua matanya berkantung hitam, mempertegas kesulitannya untuk tidur dalam beberapa hari ini. Rambutnya tipis; hanya beberapa helai yang masih bertahan di kepalanya. 

Pria itu menatapku, lalu melihat mobil di belakangnya beberapa kali hingga akhirnya fokusnya kembali ke arahku. "Kau siapa?"

Oke, dimulai dari awal lagi, gumamku.

"Aku New, [pembantu] dewa kematian yang akan mengantarmu ke Gerbang Akhir," jawabku, sabar. Aku harus menyelesaikan tugas ini dalam 13 menit sebelum pindah ke tugas lainnya. 

"Aku belum mau pergi, ada meeting penting yang harus kuhadiri," balasnya, lalu melirik jam tangan bertali emas yang melingkar di pergelangan tangannya. "Lihat, aku sudah terlambat 5 menit."

Aku melayang menghampirinya. "Meeting-nya dibatalkan karena kau tidak datang," ujarku.

Pria itu memelototiku. "Apa maksudmu? Aku bisa datang! Aku akan tiba sebentar lagi! Aku akan minta bawahanku menjemputku di sini," katanya, geram.

Kuhembuskan napas panjang. Menghadapi insan seperti ini adalah salah satu tantangan yang jamak kualami sewaku bertugas. Jika aku punya banyak waktu, aku bersedia mendengar keluh kesahnya dan pesan terakhirnya, sayangnya waktuku kali ini terbatas. 

Kutarik salah satu tangannya, lalu kubawa ia melayang mendekati jenazahnya yang terhimpit bagian-bagian mobil yang tak kuketahui namanya, salah satunya (dan satu-satunya yang kuketahui) adalah kemudi. 

Para petugas sudah berada di lokasi, namun butuh waktu lama bagi mereka untuk mengeluarkan jenazah pria tadi. Wajar saja, pria itu mengalami kecelakaan beruntun yang melibatkan 3 mobil dan 1 truk, namun hanya ia yang tidak selamat. 

Manusia lazim mengaitkan peristiwa ini dengan kepercayaan mereka akan roh jahat yang menghuni tempat ini dan tamak akan nyawa manusia. Mereka akan bilang bahwa jalan ini angker dan "ada penghuninya".

Aku tak bisa mengiyakan dan menampik hal tersebut karena tugasku hanya mencabut nyawa manusia. Selebihnya bukanlah urusanku.

"Kau sudah meninggal," ucapku, berharap agar pria itu menurut. 

Ia terpaku menatap jenazahnya yang sedang berusaha dikeluarkan dari mobil oleh para petugas. Ia terdiam selama beberapa menit.

"Apa aku tidak bisa kembali?" tanyanya, lemah.

"Sayang sekali di sini tertulis 'tidak'," jawabku setelah membuka dan melihat buku catatan yang kubawa. 

Aku masih punya 10 menit di sini. 

"Apa ada pesan yang ingin kau sampaikan? Mungkin untuk bawahanmu atau keluargamu?" tanyaku.

Secercah harap terlukis di wajahnya. "Kau bisa menyampaikannya?" balasnya.

Aku menggeleng. "Bukan aku, tapi ada seseorang di Gerbang Akhir yang akan mempertimbangkannya," sahutku. "Atau kau bisa juga hadir di mimpi, tapi tentu saja harus seizin orang itu. Menurut catatanku, kau jago bernegosiasi terutama dalam mendapatkan proyek, mungkin kau bisa mempraktikkannya pada orang itu."

Pria itu menunduk pasrah, kemudian tersenyum masygul. "Jago bernegosiasi? Sepertinya apa yang kuraih semasa hidup tidak ada artinya ketika aku mati," katanya.

"Itu tergantung sudut pandang yang kau pilih," ucapku, lalu mengambil jarak beberapa meter dari pria itu karena ia sudah siap pergi.

Setitik sinar muncul dari jemarinya, lalu meluas hingga ke tangan, kaki, dada, leher, dan wajahnya. Dalam sekejap, pria itu telah pergi, menunggu gilirannya untuk masuk ke Gerbang Akhir. 

Eternity | a Tay New storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang