I

1K 61 7
                                    

Bagiku, kematian adalah kehidupan.

Jiwa-jiwa yang telah meninggalkan dunia fana memulai perjalanan mereka yang sesungguhnya hingga ke tujuan paling akhir. Mungkin surga atau neraka bagi yang mempercayainya, atau keabadian bagi yang pantas mendapatkannya.

Sejujurnya aku tidak tahu pasti ke mana jiwa-jiwa tersebut akan berlabuh karena aku hanya menarik mereka dari raganya, lalu mengantar mereka hingga ke Gerbang Akhir.

Sama halnya dengan iblis, manusia memanggilku dengan beragam nama; Dewa kematian, God of Death, Shinigami, grim reaper. Tapi aku lebih senang dipanggil New karena:

1. Salah satu atasanku yang memberikannya ketika aku masih dalam masa percobaan.

2. New berarti "baru", sejalan dengan keyakinanku akan kematian.

3. Aku bukan dewa, tugasku hanyalah membantu siklus alam yang sepatutnya terjadi.

Awalnya aku tidak tahu bahwa aku harus memiliki sebuah identitas karena kupikir pekerjaanku tidak memerlukan interaksi dengan manusia. Tapi ternyata aku keliru. Terkadang aku masih harus bicara dengan manusia, terutama menjelang ajalnya.

Lingkup pekerjaanku kurang lebih sama seperti yang dideskripsikan di film Sweet Rain: Accuracy of Death yang sempat kutonton bersama rekan satu timku, Singto, ketika kami mendapat jatah libur bersamaan. Di film itu, dewa kematian bertugas menentukan apakah seseorang sebaiknya dicabut nyawanya atau diberikan kesempatan kedua. Kami juga melakukan hal tersebut, meski sesungguhnya sudah ada keputusan awal dari sang Pencipta. Keputusan yang kami buat di lapangan hanyalah sebagai penegasan.

Pada akhirnya, kami tidak seharusnya berada di hidup manusia kecuali jika sudah saatnya.

Suara sirene ambulans memecah lamunanku. Selang beberapa detik, pintu ruangan Unit Gawat Darurat (UGD) dibuka dan beberapa orang berpakaian putih berhamburan menghampiri mobil tersebut.

Di tengah kesibukan yang terjadi, kulihat tubuh seorang laki-laki dipindahkan perlahan ke ranjang rumah sakit. Hampir seluruh tubuhnya diselimuti darah - pantas saja aroma logam langsung tercium - dan masker oksigen terpasang di wajahnya. Kedua matanya terpejam dengan damai, kontras dengan raut tegang petugas yang mengelilinginya.

Setelah sosok itu menghilang di dalam ruang UGD, aku tidak sengaja mendengar pembicaraan supir ambulans dengan petugas keamanan rumah sakit. Aku menangkap kata-kata "kecelakaan beruntun", "mobil" dan "korban jiwa".

Oke. Jika percapakan dua orang ini benar, maka penyebab kematiannya sama dengan keterangan dari berkas yang kudapat sebelum melaksanakan tugas ini. Aku masuk ke dalam ruangan untuk memastikannya.

Aku tidak perlu khawatir tertangkap oleh mata manusia. Aku tidak memiliki rupa. Jikalau sebuah tugas mengharuskanku untuk berwujud, aku akan memadatkan diri dan menjadi laki-laki berusia akhir 20-an. Aku bisa saja memilih wujud tengkorak berjubah hitam seperti yang sering dilukis manusia, namun aku tidak menyukainya karena menyeramkan.

Laki-laki tersebut terbaring di salah satu sudut UGD yang paling ramai karena ada sekitar 3-4 perawat dan seorang dokter. Salah seorang perawat memeriksa tanda-tanda vitalnya, lalu perawat yang lain memasangkan selang pernapasan, sementara yang satunya lagi menyiapkan transfusi darah. Tiap orang mengerjakan tugasnya masing-masing dengan cekatan.

PIP...... PIP......

Suara denyut nadi laki-laki tersebut memelan dan seketika kesibukan semakin meningkat. Semua petugas yang terlibat melakukan segala usaha agar laki-laki itu bertahan. Agar dia hidup.

PIP...

Sinar tipis berangsur-angsur terlihat di seluruh tubuh laki-laki itu. Ia pun terbangun dari tubuhnya bersamaan dengan dengungan datar dari elektrokardiograf. Meskipun sudah sering menyaksikan peristiwa ini, bulu kudukku tetap berdiri dibuatnya.

Laki-laki itu kini mengenakan pakaian putih. Wajahnya pucat dan wujudnya agak transparan. Ia melayang dari satu petugas ke petugas lain, entah ia belum terbiasa mengendalikan diri atau ingin melihat keadaan jasmaninya.

"Hai," sapaku dengan ramah agar ia tidak panik. Kebanyakan korban kecelakaan masih tidak sadar bahwa mereka sudah pergi. "Sudah waktunya."

"Aku sudah meninggal?" tanyanya sambil melayang ke arahku.

"Sudah."

"Apa kau ke sini menjemputku?"

"Iya."

Laki-laki itu berhenti melayang, lalu menoleh ke arah ranjang tempat ia tadi terbaring.

"LEE!"

Tiba-tiba dua orang perempuan dan satu orang laki-laki berlari menembusnya untuk menghampiri jasadnya. Mereka meratap, memanggil-manggil namanya penuh harap.

"Itu orang tua angkatku," katanya sambil mengarahkan dagunya ke sepasang laki-laki dan perempuan berusia 60-an. Sang ibu berlutut di pinggir ranjang, kedua tangannya gemetar menggenggam tangan anak laki-lakinya dengan diiringi rintihan pilu. Ayahnya berdiri di sampingnya, membelai lembut bahu istrinya meskipun kedua matanya juga basah oleh air mata.

"Dan itu tunanganku," katanya lagi, menunjuk ke arah perempuan yang berdiri kaku di depan ranjangnya. Perempuan itu juga menangis.

Kuperiksa kembali berkas yang ada di tanganku. Semuanya tepat kecuali satu hal.

"Di mana kekasihmu?" tanyaku.

Lee melayang ke salah satu lorong yang menghubungkan UGD dengan pintu belakang rumah sakit dan hanya diperuntukkan bagi petugas. Ia berhenti di satu titik, kedua matanya memandangi kejadian menyakitkan ketiga yang sudah kusaksikan hari ini.

Seorang laki-laki terduduk lemas di salah satu sisi lorong yang redup. Ia mendekap kedua kakinya, kepalanya tertunduk dan bahunya berguncang akibat isakannya. Ia berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar petugas lain, namun percuma. Jubah putihnya ternodai bercak merah di beberapa sisi, bahkan stetoskop masih menjuntai di lehernya.

Penampilannya sekarang sangat berbeda dibandingkan ketika di ruang UGD tadi.

"Dia kekasihmu?" tanyaku seraya berdiri di samping Lee.

Lee mengangguk tanpa mau melepas tatapannya dari kekasihnya. "Aku tidak mungkin hidup lagi, 'kan?"

"Maksudnya?"

Lee melihatku. Jika ia masih memilki raga, kubayangkan ia sedang menitikkan air mata. "Apa aku tidak bisa hidup kembali?"

"Hmm..." gumamku seraya memeriksa berkas. "Di sini tertulis 'tidak', Lee."

"Kenapa?" nada suaranya meninggi.

Aku ingin sekali menjawab pertanyaannya, tapi terkadang ada hal-hal yang belum dan tidak akan kumengerti. "Aku tidak tahu," sahutku.

Lee menghela napas panjang, lalu terdiam selama beberapa saat. "Aku mohon," ujarnya pelan. "Tolong jaga Tay."

"Tugasku adalah – "

" – akan kulakukan apapun, bahkan jika aku harus mati sekali lagi," katanya sambil menatap kedua mataku lekat-lekat. "Tolong jaga Tay. Jangan sampai dia menyalahkan dirinya atas kepergianku. Aku ingin melihatnya tersenyum kembali."

Dengan berat hati, kusanggupi permohonan Lee. "Ayo, sudah saatnya," ucapku.

Lee melayang mendekati Tay, kemudian berlutut di hadapannya. Tentu saja Tay tidak merasakan apapun. Laki-laki itu terlalu sedih untuk menyadari perubahan suhu atau tiupan angin yang ada di sekitarnya.

"Aku mencintaimu, Tay," kata Lee seraya membelai rambut kekasihnya. "Sampai kapanpun aku akan terus mencintaimu."

Eternity | a Tay New storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang